Pelaksanaan
demokrasi dapat dilakuakan dengan dua cara yaitu demokrasi langsung dan
perwakilan dan secara hirarkhi negara terdapat demokrasi tingkat nasional dan
lokal. Di Indonesia pada masa eforia politik da satu sisis dan ketidak
percayaan rakyat pada elit politik menjadikan proses rekrutmen mengarah pada
demokrasi langsung, termasuk pemilihan kepala daerah. Pemilihan kepala daerah
secara langsung merupakan fenomena kenegaraan baru di Indonesia. Hal ini
menyusul pemilihan elit eksekutif nasional yang juga dilakukan secara langsung.
Pilkada langsung pertama kali akan dilakkan di 224 pemerintah daerah di
Indonesia, sehinga segala hal yang melandasinya perlu dibahas dengan seksama.
Dalam hal ini kita perlu memperhatikan hubungan negara dan rakyat dalam bingkai
demokrasi lokal, asas desentralisasi dan proses kebijakan publik dan
partisipasi politik rakyat daerah. Dari pelakasanaan komponen-komponen
tadi kita akan melihat beberapa buka ke depan bagaimana pesta
demokrasi lokal di negara Indonesia akankah terjadi perkembangan reformasi
politik lokal atau hanya an old one in a new bottle.
A. Pendahuluan
Hubungan
antara pemerintahan (state) dengan warga negara/rakyat (society) selalu berada dalam
bingkai interaksi politik diantara keduanya dalam wujud organisasi negara.
Hubungan state and society ini dapat tergambarkan dalam icon yang diberi
label demokrasi. Sejak lama, sebagai gambaran besar, demokrasi menjadi
cara terbaik dalam perkembangan organisasi negara modern. Demokrasi yang
dimaksud merupakan instrumen universal, namun juga memiliki karakteristik
ideografis dalam hal-hal tertentu. Misalnya kita akan menemukan adanya
demokrasi liberalis, demokrasi sosialis dan bahkan demokrasi Pancasila.
Sementara dalam hirarkhi suatu negara jangkauan pengaruh, kita bisa merujuk
pada dua jenis atau kelompok demokrasi, yaitu demokrasi dalam lingkup negara
dan demokrasi lokal.
Tulisan ini
bermaksud mendeskripsikan demokrasi dalam tataran lokal pada ranah ideografis
Indonesia dengan memfokuskan diri pada fenomena pemilihan kepala daerah secara
langsung. Dalam tulisan ini akan dikemukakan hal-hal yang berkaitan dengan:
demokasi lokal, asas desentralisasi, kebijakan publik, pemilu kepala daerah
langsung , dan pertisipasi politik di Indonesia.
B. Demokrasi Lokal
Demokrasi
sebagai aspek penting berkaitan dengan pemerintahan dengan hirarkhi kekuasaan
yang terdapat dalam suatu sistem politik negara. Artinya, akan terdapat sistem
politik nasional yang didalamnya terdapat sub sistem politik daerah dalam
bingkai sistem negara yang dianutnya. Pemilahan demokrasi lokal ini bukan
berarti terdapat determinasi wilayah pemberlakuan demokrasi atau bahkan
terdapat perbedaan demokrasi dari induknya. Dalam tulisan ini demokrasi lokal
ditujukan sebagai bagian utuh dari demokrasi di Indonesia dalam pelaksanaan
rekrutmen elit politik di pemerintahan daerah.
Demokrasi
lokal merupakan bagian dari subsistem politik suatu negara yang derajat
pengaruhnya berada dalam koridor pemerintahan daerah. Di Indonesia Demokrasi
lokal merupakan subsistem dari demokrasi yang memberikan peluang bagi
pemerintahan daerah dalam mengembangkan kehidupan hubungan pemerintahan daerah
dengan rakyat di lingkungannya.
Semenjak era
reformasi, demokrasi yang diusung mengarah pada demokrasi partisipatif atau
langsung, salah satunya karena banyak pejabat politik yang tidak melakukan
tanggung jawabnya dengan baik, sehingga legitimasi mereka lemah. Di sisi lain
memunculkan ketidak percayaan rakyat pada penguasa mendorong rekrutmen pejabat
politik ke arah demorasi langsung. Sehingga tidak mengherankan bila rekrutmen
hampir semua jabatan politik dilaksanakan dalam format demokrasi yang bergerak
pada hubungan state and society secara langsung. Mulai dari pemilihan anggota
DPR, DPD, dan DPRD2. Kemudian dilanjutkan dengan pemilihan umum
presiden dan wakil presiden. Pada
fase demokrasi langsung ini merupakan era baru reformasi politik di Indonesia
yang pertama kali digelar sejak kemerdekaan Indonesia. Rekrutmen politik skala
nasional ini merupakan perkembangan demokrasi yang mendapat pengakuan dunia
karena keberhasilannya.
Sebagai
tindak lanjut dari keberhasilan rekrutmen poltik dalam tataran demokrasi ini,
pada tahun 2005 ini akan juga melakukan proses rekrutmen politik elit daerah
sebagai kelanjutan dari pemilihan umum presiden dan wakil presiden yang talah
melahirkan pasangan pemimpin politik berbasis legitimasi rakyat, yaitu Bapak
Susilo Bambang Yudoyono dan Jusuf Kalla. Pemilihan Kepala daerah merupakan
proses demokrasi yang akan menyetarakan legitimasinya dengan keberadaan DPRD
yang telah dipilih secara langsung.
Demokrasi
lokal dalam pemilihan kepala daerah, menjadi momentum yang masih memberikan
pertanyaan besar dalam pelaksanaannya. Pertanyaan ini berkaitan dengan
demokrasi partisipatoris3 yang akan dilakukan. Betapa tidak,
pemberian kedaulatan rakyat daerah pada elitnya masih diwarnai ketidakjelasan,
baik dari prosdur kerja penyelenggara maupun peserta dan posisi pemilihnya.
Dari
sisi kedaulatan rakyat daerah, demokrasi lokal dibangun untuk memberikan porsi
yang seharusnya diperoleh rakyat lokal dalam pemberian legitimasi pada elit
eksekutifnya. Selama ini rakyat daerah memberikan kedaulatan hanya pada
legislatif daerah saja--melalui pemilu legislatif. Maka merujuk pada konsep
trias politica-nya Montesquieu4 pemisahan kekuasaan atas tiga
lembaga negara untuk konteks pemerintahan daerah terletak pada lembaga
eksekutif dan legislatif daerah, sedangkan dalam kerangka yudikatif menginduk
pada kelembagan pusat. Hal ini terkait dengan pola hubungan pemerintahan pusat
daerah dalam asas desentralisasi. Kedaulatan rakyat dalam kerangka sistem
pemerintahan dapat dibagi kedalam hirarkhi demokrasi nasional dan lokal dari
tata cara rekrutmen politiknya.
Ketidakpercayaan
rakyat dan era reformasi mendorong adanya pilkada langsung. Hal ini tidak
langsung berkatan dengan baik atau tidaknya demokrasi, karena di negara lain
uga terdapat variasi pelaksanaan demokrasi baik yang langsung, perwakilan
bahkan dengan appointment. Derajat kepentingannya adalah terpilihnya pejabata
politik yang akuntabel sesuai dengan needs for achievment rakyatnya
C.
ASAS DESENTRALISASI
Desentralisasi
merupakan salah satu asas dalam penyelenggaraan pemerintahan5 yang
bertujuan untuk sharing power dalam penyelenggaraan pemerintahan
yang dekat dengan rakyatnya. Sementara itu, Cornelis Lay (2003) menyatakan
bahwa dengan desentralisasi pengaturan politik dan pemerintahan yang stabil
dapat dilakukan. Dengan desentralisasi dapat diakomodasi sharing of power,
sharing of revenue, dan penguatan lokalitas, selain pengakuan dan penghormatan
terhadap identitas daerah6. Berkaitan dengan sharing of power maka
pemberian desentralisasi secara devolusi menjadi penting. Apalagi dalam era
reformasi ini yang akan memunculkan pemilu lokal bagi elit ekesekutif secara
langsung tentunya akan terjadi penguatan dalam sistem pemerintahan daerah.
Desentralisasi
merupakan bentuk hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah yang
pada umumnya memiliki dua bentuk yaitu: Debvolusi dan dekonsentrasi. Dalam
ideografis Indonesia kita pernah mengenal asas tugas pembantuan atau medebewind
sebagai bagian dari desentralisasi. Berdasarkan ranah politik pemerimtahan maka
desentralisasi yang berkaitan dengan otonomi penyelengaraan pemerintahan di
daerah adalah devolusi. Sementara dekonsentrasi masih merupakan kepanjangan
tangan kebijakan pusat di daerah.7
Asas
desentralisasi ini memberikan peluang bagi daerah untuk dapat mengurus rumah
tangga pemerintahan sendiri walaupun tetap dalam bingkai sistem negara
kesatuan. Dengan asas ini pula secara garis besar rekrutmen, responsibilitas
dan akuntabilitas politik dapat dilaksanakan dan bersifat final di pemerintahan
daerah.
Berdasarkan
asas desentralisasi hubungan rakyat dan pemerintahan daerah berada dalam
koridor demokrasi daerah. Pelibatan pemerintahan daerah dalam mengurus
kewenangannya merupakan keleleuasaan yang bertujuan untuk pengembangkan
demokrasi daerah dan pembangunan daerah yang pada gilirannya mengarah pada
kesejahteraan rakyat di wilayah kerja daerahnya.
Dalam
perkembangannya asas desentralisasi yang berbentuk devolusi telah mengalami
perubahan yang mendasar. Salah satu contoh yang sekatrang menjadi isu nasional
adalah tentang pemilihan kepala daerah baik di pemda propinsi maupun pemda
kabupaten dan kota. Berdasarkan Undang-undang no 5 tahun 1974 rekrutmen
eksekutif daerah berada di legilslatif daerah dengan masih ada intervensi dari
pemerintah pusat. Berdasarkan undang-undang no 22 tahun 1999, kepala
daerah dipilih oleh legislatif daerah secara mandiri8. Dan pada
perkembangan terkhir berdasarkan undang-undang no 32 tahun 2004, pemilihan
eksekutif daerah didasarkan pada demokrasi lokal partisipatif, dimana rakyat
daerah yang bersangkutan melakukan pemilihan secara langsung. Sementara itu
pelaksana atau penyelenggara pemilu yang berdasarkan dua undang-undang
pemerintahan daerah terdahulu berada dalam legislatif daerah, untuk pemilu
eksekutif daerah yang akan dilaksanakan pada tahun 2005 ini berada di Komisi
Pemilihan Umum Daerah yang bertangung jawab pada legislatif daerah. Dalam hal
ini terdapat lompatan besar dalam rekrutmen eksekutif daerah.
Semangat
desentralisasi telah bergerak dari seputar lingkaran pemerintah pusat dan
legislatif daerah ke arah rakyat daerah yang berdaulat. Tentunya lompatan ini
harus diimbangi dengan format pelaksanaan yang jelas baik secara politik, hukum
maupun adminstrasi negara. Kenapa demikian? Hal ini berkaitan dengan tingkat
kerawanan dan tantangan yang begitu besar dalam melakukan pemilu eksekutif
lokal secara langsung. Konflik yang akan muncul juga akan semakin kompleks dari
pemilu presiden dan wakil presiden. Sehingga payung hukum, politik dan
administrasi negara menjadi penting. Ada kegelisahan dalam memaknai desentralisasi secara tersendiri apabila
pada tahun 2005 ini terjadi hal yang merugikan asas ini. Terdapat sekitar 224
pasangan eksekutif daraih yang akan dipilih langsung, tentunya perlu penanganan
yang baik, sehingga tidak terjadi shifting dari major descentralisation
ke arah major deconsentration atau bahkan memunculkan resentralisasi
sebagai sisi ekstrim dari desentralisasi.
D.
KEBIJAKAN PUBLIK
Pemilihan
Kepala daerah dan wakil kepala daerah ini merupakan produk politik pemerintahan
pusat dalam bentuk kebijakan publik. Membahas kebijakan publik secara langsung
tentang produk politik pemilihan eksekutif daerah ini tidak akan pernah
ditemukan. Kenapa demikian? Karena dalam proses pembuatan kebijakan publik di
tingkat nasional pemilu sebagai produk politik berada pada undang-undang No. 12
tahun 2003 tentang pemilu dan undang-undang no 23 tahun 2003 tentang pemilihan
presiden. Sementara pemilihan kepala eksekutif daerah itu berada pada
Undang-undang No 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Memang
benar menurut kajian kebijakan publik semua produk kebijakan yang sudah melalui
tahapan-tahapan formal kebijakan yang berlaku, setelah menadapat penetapan dan
dimuat dalam lembataran negara dan tambahan lembaran negara menjadi sah secara
hukum positif untuk dilaksanakan. Namun demikian, dalam kerangka politik yang
secara mendasar mengarah pada esensi demokrasi, hal ini menimbulkan berbagai
pertanyaan yang krusial. Seperti contohnya muncul pertanyaan tentang
kemandirian penyelenggara pemilu, dan yang lainnya. Disamping itu berkaitan
dengan sistem pemerintahan dalam format desentralisasi dan sentralisasi
terdapat pertanyaan tentang hasil kebijakan publik yang kontradiktif terutama
dalam pertanggungjawaban pelaksana pemilu dalam hal ini KPUD dengan
legislatif daerah. Terdapat kehawatiran lain berkaitan dengan sinyalemen
intervensi pemerintah pusat melalui struktur lembaganya dalam prosedur
pelaksanaan pilkada langsung ini.9
Bila
dilihat dari tahapan pembuatan kebijakan publik di Indonesia, khususnya
dalam pembuatan undang-udang no 32 tahun 2004, kita bisa melihat adanya
ketergesaan dalam pembahasannya sehingga hasilnya banyak dipertanyakan. Salah
satu pertanyaan mendasar adalah pembuatan rancangan undang-undang itu tertutup dan
kurang melibtakan komponen masyarakat terkait.
Menurut Ibnu
Tricahyo dari PP Otoda dalam Pembekalan anggota DPRD Kabupaten Malang
memaparkan bahwa RUU perubahan undang-undang 22 tahun 1999 dengan undang-undang
25 tahun 1999, DPR baru melakukan usul melalui hak inisiatifnya kepada Presiden
pada tanggal 9 pebruari 2004. Kemudian pada tahapan berikutnya Pemerintah
mengajukan ke RUU yang diminta oleh DPR melalui hak inisiatifnya pada bulan mei
2004. Salah satu pokok pembahasan dari RUU pemerintahan daerh adalah berkaitan
dengan pemilihan kepala daerah langsung berdasarkan amanat amandemen UUD 1945
bahwa kepala daerah dipilih secara demokratis.
Tahapan
berikutnya langsung terjadi proses formal tahapan pembuatan kebijakan publik di
DPR dengan membentuk panitia khusus (pansus) dan juga dibentuk panitia kerja
(panja). Ke dua panitia ini bekerja untuk membahas dua RUU perubahan UU No. 22
tahun 1999 dan UU No. 25 tahun 1999. Pada bulan september 2004 ke dua RUU
tersebut disetujui DPR dan pada bulan berikutnya, Oktober 2004 disahkan oleh
Presiden.10 Tidak ada penyimpangan prosedur dalam tahapan internal
pembuatan kebijakan publik, tetapi warna demokratis dalam pembuatan kebijakan
dan singkatnya waktu pembahasan merupakan titik kelemahan dalam pembuatannya.
Kita sudah mengetahui bahwa di akhir masa kerja DPR begitu banyak RUU yang
masih perlu dituntaskan, dan dua RUU ini merupakan salah satu prioritas yang
harus selesai sebelum habis masa kerja dewan.
Dalam kajian
kebijakan Publik tahapan pembuatan rancangan baik oleh eksekutif maupun
legislatif seharusnya melibatkan stakholder dalam kebijkan publik tersebut,
namun kenyataannya hal ini jarang sekali dilakukan sehingga kelompok-kelompok
masyarakat yang berkepentingan dengan kebijkan tersebut sangat sulit untuk
mendapatkan akses informasi perkembangannya. Berkaitan dengan RUU perubahan UU
No. 22 tahun 1999, dengan sangat terbatas rancangan yang berasal dari
eksekutif, legislatif dan dari kalangan LSM bisa diakses. Kemudian ketika
memasuki tahapan formal juga terjadi hal yang serupa. Sehingga sinyalemen Ibnu
yang menganggap pembahasan kebijakan ini tidak rasional dan cenderung instan
dapat dibenarkan.
Selain itu
juga ketika pembahasan itu dilakukan Dewan Perwakilan Daerah sudah terbentuk
sebagai hasil pemilu tahun 2004, tetapi mereka tidak dilibatkan di dalamnya
padahal kebijkan publik tersebut menyangkut salah satu kewenanggannya.
Asosiasi pemerintah daerah maupuin eksekuit daerah juga tidak secara optimal
diberikan akses, apalagi kelompok-kelompok lainnya dalam masyarakat yang
sebenarnya perlu mengikuti tahapan-tahapan dalam pembahasan rancangan.
Memang benar
secara formal tahapan-tahapan kebijakan publik sudah dilakukan secara
prosedural, namun denmikian dengan waktu yang terbatas dan kurang melibatkan
lembaga negara baru tersebut merupakan kelemahan tersendiri. Ada kecenderungan
untuk menyelesaikan sekian banyak RUU dalam sisa masa kerja DPR pada waktu itu.
E. PILKADA LANGSUNG
Berdasarkan
pembahasan terdahulu, pemilu eksekutif daerah ini berada dalam koridor
demokrasi lokal dalam lingkup asas pemerintahan—desentralisasi dan didasaraan
pada rel kebijakan publik UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Pemilihan Kepala daerah langsung merupakan fenomena baru dalam sistem pemerintahan
daerah di Indonesia. Sepanjang sejarah pemerintahan, baru sekarang ini akan
dilaksanakan pilkada seara langsung yang selama tahun 2005 akan melibatkan 16
pemda Propinsi dan 118 pemda Kabupaten dan Kota di Seluruh Indonesia. Melihat
begitu banyaknya pemerintah daerah yang akan melaksanakan pilkada tersebut,
maka akan menjadi sangat penting bagi semua komponen yang terlibat dalam
pelaksanaannya untuk memiliki persepsi yang sama, sehingga tahun 2005 ini bisa
dijadikan tonggak demokrasi lokal di Indonesia. Akan sangat riskan ketika dalam
pelaksanaan di 224 pemerintahan daerah itu terjadi konflik atau permasalahan
yang akan merusak dan berakibat fatal pada sistem pemerintahan di Indonesia.
Berdasarkan
UU No. 32 tahun 2004, kita dapat membahas adanya perkembangan demokrasi yang
semakin dekat dengan konstituennya yaitu masyarakatnya. Secara umum ini
merupakan kemajuan yang sangat berarti bagi hubungan pemerintahan daerah dengan
rakyatnya dalam hal penggunaan hak politiknya. Namun demikian secara lebih mendalam
masih banyak hal yang perlu mendapat perhatian serius. Salah satu kekhawatiran
itu munculnya usaha judicial review dari komponen masyarakat pada
Mahkamah Konstitusi terhadap hal yang akan mengurangi kadar demokrasi yang
dimaksudkan.
Hal lain yang
masih menjadi pertanyaan adalah pelaksanaan pilkada langsung pada daerah-daerah
dengan kebijakan publik yang khusus seperti di Nangru Aceh Darussalam (NAD) dan
di Papua. Berkaitan dengan adanya pemerintah daerah yang memiliki undang-undang
khusus, perlu diterjemahkan lebih lanjut dalam tataran kebijakan yang bersifat
politis maupun aspek hukumnya.
Sebagai suatu
sistem pemilihan partisipatif yang baru akan dilaksanakan di Indonesia ini,
tentunya perlu diperhatikan keunggulan dan kelemahan dari produk kebijakan
publik tentang pemilu dalam rekrutmen elit eksekutif lokal ini. Melalui format
demokrasi yang sampai saat ini dianggap paling baik dalam memetakan hubungan
negara dan rakyatnya baik dalam tataran politik nasional maupun lokal, dapat
kita gambarkan keunggulan dan kelemahan pilkada langsung ini.
Keunggulan
pilkada langsung ini bisa dilihat dari adanya legitimasi elit eksekutif lokal
terpilih berkaitan dengan dukungan rakyat daerah kepadanya ynag sebanding
dengan pemilu legislatif daerah yang menjadi satu paket dengan pemilihan DPR
dan DPD. Jadi berdasaarkan aspek legitimasi, pilkada langsung merupkan salah
satu keunggulan yang siginifikan. Berikutnya adalah berperannya rakyat daerah
dalam menentukan langsung pilihannya, tidak mewakilkan pada DPRD seperti pada
periode pemilihan kepala daerah berdasarkan UU No. 22 tahun 1999. Secara umum
pemberian hak politik dalam menentukan elit eksekutif lokal ini merupakan
keunggulan dari UU pemerintahan daerah yang baru.
Membatasi
terjadinya politik uang dikalangan elit pemerintahan daerah, yang pada waktu
pilkada lalu bermuara pada penyelenggranya, yaitu DPRD melalui kepanjangan
tangan fraksi. Jadi dimungkinkan melemahnya politik uang tentunya apabila
dipenuhi syarat dalam pencalonan dan pemilihannya. Selain itu juga memberikan
kesan lebih obyektif.11 Rakyat pemilih juga sudah terbiasa dalam
rekrutmen langsung kepala desa. Bahkan baru-baru ini di akhir tahun 2004, kita
sudah berhasil dalam melakukan rekrutmen elit eksekutif nasional dalam pemilu
presiden dan wakil presiden secara langsung.
Sedangkan
bila dibahas berdasarkan kemungkinan kelemahan yang akan terjadi, kita bisa
mendeteksi adanya pengalihan money politics dari lembaga DPRD ke partai
politik yang memiliki hak untuk mengajukan calon. Tidak menutup kemungkinan
pula terjadinya money politics ini meluas pada komponen-komponen
masyarakat lainnya.
Kastorius
Sinaga (2003) menyatakan bahwa dalam kerangka sistem negara unitarian tidak
dimungkinkan adanya negara dalam negara.12 Artinya bingkai
sistem pemerintahan daerah merupakan bagian dari atau subsistem dari sistem
pemerintahan nasional. Secara hirarkhi, pemerintah pusat merupakan atasan
bagi pemerintahan daerah. Namun demikian akan terjadi tendensi kelemahan dalam
peluang intervensi pemerintah pusat dalam pilkada langsung ini. Banyak kalangan akademisi dan LSM yang menengarai
warna resentralisasi dalam pesta demokrasi lokal ini. LSM Cetro
menyatakan bahwa akan terjadi intevensi pemerintah pusat bila Peraturan
Pemerintah sebagai amanat dari UU No. 32 tahun 2004 ini mengatur terlalu banyak
KPUD sebagai penyelenggara pilkada langsung di satui sisi dan meniadakan sifat
independen, mandiri dan nasional.
Bila
dilihat dari sudut pandang penyelenggraan pilkada langsung ini, maka akan terdapat
aktor-aktor yang terlibat baik sebagai penyelenggara, penanggung jawab, peserta
dan pemilih (voter) yang berbeda ketika pilkada berada ditangan DPRD.
Berdasarkan undang-undang yang baru tentang pemerintahan daerah, aktor
penyelenggara pemilu adalah Komisi Pemilihan Umum Daerah. Dalam hal ini telah
terjadi pemutusan sifat independen, mandiri dan sifat nasionalnya. KPUD
ini bertangung jawab pada DPRD. KPUD sebagai lembaga independen dan nasional
diserahi tugas seperti penerimaan tugas otonom, hal ini menimbulkan pertanyaan
dalam hubungan ketatanegaraan di Indonesia.
DPRD
merupakan penanggung jawab Pilkada langsung karena pintu pertanggungjawaban
penyelenggaraan berada ditangannya. Penganggaran dan pelaporan pelaksanaan
pilkada langsung berada di DPRD. Sementara di lembaga ini terdapat fraksi yang
pada dasarnya merupakan kepanjangan tangan dari partai politik sesuai
dengan jenjang hirarkhinya. Tentunya hal ini akan mengakibatkan adanya
polarisasi DPRD sebagai lembaga penanggung jawab pilkada langsung di satu sisi
dan sebagai kepanjangan partai politik yang melakukan penjaringan calon
pasangan kepala daerah. Conflict of interest kemungkinan tidak bisa
terhindarkan, dan bila terjadi tentu saja akan mengurangi kadar demokrasi lokal
yang partisipatif yang baru mulai dibangun.
Aktor
berikutnya adalah elit-elit partai politik dalam hirakhi lokal. Mereka ini
merupakan partai politik yang memiliki 15 per sen kursi di DPRD. Parpol ini
akan melakukan penjaringan calon pasangan kepala daerah, yang tentu saja
memiliki kewenangan penuh untuk meloloskan atau tidak calon pasangan tadi. Hal
ini dimungkinkan karena satu-satunya pintu bagi pencalonan pasangan kepala
daerah hanya melalui mereka.
Aktor
lain dalam pilkada yang sebenarnya merupakan pemegang kedaulatan poitik dalam
aras lokal adalah rakyat pemilih. Hak Politik mereka akan sangat menentukan
kemenanganan pasangan calon kepala dan wakil kepala daerah. Jumlah pemilih yang
menggunakan haknya secara sah yang mencapai 25 % akan mengantarkan pasanagan calon
menjadi elit eksekutif daerah. Lembaga eksekutif daerah juga berperan sebagai
fasilitator dalam tahapan persiapan dan pelaksanaan pilkada langsung itu.
Aktor
yang berada dalam bayang-bayang secara implisit memunculkan pengaruhnya adalah
kelompok pemodal yang mempunyai kepentingan yang bersandar pada sosok pasangan
calon yang akan terpilih. Apabila berdasarkan kasus-kasus pemilihan terdahulu
yang berada dalam lingkup DPRD, mereka berada di balik dukungan melalui organ
DPRD itu, namun untuk pilkada langsung ini, tentunya akan melalukan cara yang
berbeda. Tujuan akhirnya menjadikan jagoannya terpilih dan pada gilirannya akan
memberikan peluang bagi kepentingannya. Sinyalemen ini mulia berkembang karena
dalam pilkada dengan sistem yang berbeda sudah sering terjadi, dimana suara
DPRD sebagai wakil rakayat tersisihkan menjadi sekedar wakil kepentingan kaum
pemodal ini. Tapi mudah- mudahan dalam pilkada langsung ini, pengaruh mereka
tidak ada atau dapat dipersempit ruang geraknya. Perlu kesadaran tinggi
sebagai warga negara yang baik, legislator yang baik dan elit partai politik
yang baik pula untuk memeranginya.
Dalam
pentahapan penyelenggraan pilkada langsung ini, dalam UU No 32 tahun 2004
merunut pada pentahapan pemilihan legislatiuf dan secara khusus pada pemilu
presiden. Tahapan dimulai melalui berakhirnya masa jabatan kepala daerah,
kemudian ke pendaftaran pemilih, pendaftaran calon peserta pilkada, kampanye
dan pemungutan dan pengitungan suara, penetapan calon terpilih dan pelantikan
calon terpilih sebagai pasangan kepala daerah dan wakil kepala daerah. Di
dalamnya termasuk sosialisasi tahapan-tahapan tadi, yang secara garis besar
terbagi ke dalam dua tahapan yaitu tahapan persiapand ana tahapan pelaksanaan.
Derajat
kepentingan tahapan ini tentunya berbeda-beda diantara aktor-aktor yang
berkaitan dengan pilkada langsung ini, bagi pemilih sebagai warga negara yang
baik maka tahap pendaftaran pemilih, partsispasi dalam kampanye, dan tahapan
pemungutan suara menjadi tiga tahapan penting disamping peka terhadap
sosialisasi yang dilakukan oleh fihak penyelenggara. Bagi KPUD tentunya semua
tahapan menjadi penting berkaitan dengan tugas dan kewajiban dalam mensuksekan
tugas ke tiganya dalam pilkada langsung ini. Bagi DPRD tentunya juga sangat
memperhatikan fungsi sebagai penanggungjawab penyelenggaraan pilkada langsung
ini terutama dalam penetapan anggaran, diferensiasi fungsi lembaga dan sebagai
kepanjangan partai politik, juga dalam pemilihan panitia pengawas pemilu.
Apabila semua aktor yang terlibat berperan sebagaimana fungsinya masing-masing
dalam koridor kebijakan publik yang berlaku, maka diharapkan pilkada langsung
yang akan dislenggarakan di setengah pemda propinsi dan di 108 pemda kabupaten
dan kota di seluruh Indonesia pada tahun 2005 ini, akan menjadi tonggak sejarah
perkembangan demokrasi lokal dan tentunya akan melenglkapi dua pemilu
sebelumnya yang secara umum berhasil dengan baik.
G. PARTISIPASI POLITIK
Pilkada
langsung yang akan diselenggrakan mulai tahun 2005 ini, tidak akan terlepas
dari pentingnya partisipasi politik rakyat. Kalaupun tidak ada batasna yang
jelas bahwa jumlah pemilih yang menggunakan haknya secara sah sebagai indikator
keberhasilan pemilu tersebut, namun kita bisa melihat derajat partispasi
politik sebagai respon atas pentingnya rekrutmen politik elit daerah.
Banyak
batasan yang diberikan oleh ahli-ahli politik dalam literatur-literaturnya.
Salah satu definisi Partisipasi politik yang berkaitan dengan pilkada langsung
ini dapat dilihat dari pendapatnya Miriam Budiardjo (1994) yang menayatakan
bahwa “Kegiatan individu atau kelompok secara aktif dalam kehidupan politik ,
memilih pimpinan negara dan terlibat dalam mempengaruhi kebijakan publik”
sebagai batasan dari partisipasi politik.13 Hal senada juga diungkapakan
oleh Herbert McClosky yang dikutip oleh Budiardjo (1994) yang berkaitan dengan
sifat sukarela dan proses pemilihan penguasa.
Keterlibatan
secara sukarela dalam pilkada merupakan indikator positif atau negatifnya
rakyat daerah sebagai warga yang mempunyai hak politik sebagai voter. Tentu
saja rakyat sebagai waraga negara agar dapat berperan aktif dalam partisipasi
politik perlu terpaan pendidikan politik dari berbagai agennya. Tanpa terpaan
itu maka sukar untuk mendapatkan kadar partispasi politik yang baik dalam
kerangka demokrasi.
Bentuk
partispasi politik rakyat daerah dalam pilkada langsung ini dapat dilihat dari
berbagai bentuknya, mulai dari sebagai orang atau kelompok yang apolitis,
pengamat, maupun partisipan14 Seperti pada dua pemilu yang
lalu maka akan ada prosentasi rakyat yang apolitis dalam arti mereka yang
termasuk tak acuh dalam kegitand an proses politik. Di Indonesia,prosentase rakyat yang apolitis masih
di bawah 30 % rata-rata. Sementara bentuk pengamat merupakan porsi yang paling
banyak, yaitu mereka yang melakukan pengaruh dalam proses politik sebatas
sebagai anggota organsisasi, hadir dalam kampanye, dan voter. Sementara dalam
bentuk partisipan, diantaranya rakyat terlibat sebagai aktivis partai, dan
kelompok kepentingan. Sebagai aktivis, pertisipasi politik rakyat sudah
mengarah pada derajat menduduki jabatan-jabatan organisasi/ politik.
Sifat
sukarela dan terlibat dalam rekrutmen politik serta mempengaruhi kebijakan
publik merupakan warna proses politik yang dapat digambarkan dalam pemilu
legisltaif adan pemilu presiden secara langsung pada tahun 2004 yang lalu. Hal
yang sama juga dpat diprediksikan pada pilkda langsung tahun 2005 nanti. Kenapa
ada statemn demikian ? hal ini tidak terlepas dari pengalaman praktis rakyat
dalam pemilu langsung tahun 2004 tadi. Dengan tata cara dan tahapan yang
relatif sama dengan pemilu presiden diperkirakan partisipasi politiknya juga
tidak jauh berbeda. Namun demikian untuk menghindari antiklimaks dari
partisipasi politik rtakyat daerah maka perlu media sosialisasi politik
termasuk di dalamnya pendidikan politik yang memadai sehingga rakyat daerah
akan merespon dalam bentuk pertisipasi politik yang memadai baik dari sudut
pandang kualitas mapun kuantitasnya.
Peran
partai politik sebagai penyandang fungsi sosialisasi, pendidikan, partisipasi
dan rekrutmen politik merupakan media yang sangat efektif dalam memicu
partisipasi politik rakyat daerah. Disamping itu, peran KPUD dalam sosialisasi
tahapan pilkada langsung juga berpengaruh pada tingkat partisipasi politik
dalamap pilkada langsung ini. Terpaan pendidikan politik dari berbagai agen
dalam pilkada yang dilakukan dengan baik akan berdampak pada kontribusi
partisipasi politik yang baik pula. Peran partai politik yang melakukan penjarinag
calon pasangan dengan obyektif dan sesuai dengan kebutuhan rakyat dalam
menentukan pempinan politik daerah, akan menarik minat rakyat daerah untuk
berperan serta.
F.
PENUTUP
Perkembangan
demokrasi lokal dalam pemilihan kepala daerah sercara langsung merupakan
peluang sekaligus tantangan yang perlu pembuktian secara nyata. Bingkai pilkada
langsung ini tentunya harus diletakkana dalam asa pemerintahan—desentralisasi
dalam korodor sistem negara kesatuan. Hubungan state and society dalam
pemerintahan daerah di era refromasi ini merupakan tantangan dalam kehidupan
pemerintahan modern Indonesia. Penyelenggaraan pilkada dengan kebijakan publik
yang berlandaskan demokrasi yang melibatkan sebanyak mungkin aktor-aktor secara
langsung ataupun tidak langsung akan menghasilkan pemilu yang sesuai
dengan tujuannya—penyerahan kedaulatan secara sukarela.
Diharapkan
perangkat kebijakan publik yang mendukung dan jelas, tidak adanya benturan
antar kebijakan dan badan penyelenggara merupakan salaha satu kunci sukses
pilkada langsung. Setiap produk kebijakan publik yang dihasilkan lembaga
politik yang dialakukan secara demokratis pun tidak akan terhindar dari pro dan
kontar dalam lingkungan internal dan eksternal kebijakan tersebut.
Laswell pernah menyatakan bahwa tidak ada satu kebijakanpun yang dapat
memeberiak kepuasan bagi seluruh target kebijaka tersebut. Apalagi kalau
produk kebijakan itu mengurangi kadar demokratis dalam pembuatan dan
pelaksanaannya.
Akhirnya,
semoga kebijakan publik yang sudah diputuskan tentang pemerintahan daerah yang
di dalammnya mengatur tentang pilkada langsung sebagai amanat dari amandemen
UUD 1945 dapat dilaksanakan dan diinterpretasikan dengan baik sehingga tidak
mencederai niatnya dalam mengusung demokrasi lokal dalam format desentralisasi
betuk devolusi--otonomi daerah. Pilkada langsung ini diharapkan tidak
hanya an old one in a new bottle ,tetapi menjadi tonggak perkembangan
reformasi politik lokal di Indonesia
G.
Daftar Pustaka
Budiardjo, Miriam, 1994, Demokrasi di
Indonesia: Demokrasi Parlementer dan Demokrasi Pancasila, PT Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta
Budiman, Arief, 1986, Teori Negara. Kekuasaan
dan Ideologi, PT Gramedia, Jakarta
Faturohman, Deden dan Wawan Sobari, 2002, Pengantar
Ilmu Politik, UMM Press, Malang.
Lay, Cornelis,2003, “Otnomi Daerah dan
Ke-Indonesiaan” dalam Abdul Gaffar Karim (ed.), Kompleksitas
Persoalan Otonomi di Indonesia, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Pratikno, 2003, Pilihan
yang Tidak Pernah Final, Dalam Abdul Gaffar Karim (Ed.), Desentralisasi,
, Kompleksitas Persoalan Otnomi Daerah di Indonesia ,
Pustaka Pelajar,Yogyakarta .
Riyadmaji, Dodi, 2003, Mengkritisi
Pemikiran Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung, dalam Abdul Gaffar Karim
(ed.), Kompleksitas Persoalan Otonomi di Indonesia, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta.
Sinaga, Kastorius, 2003, Pemilihan
Kepala Daerah Langsung Kota dan Kabupaten: Beberapa catatan Awal, dalam
Abdul Gaffar Karim (ed.), Kompleksitas Persoalan Otonomi di Indonesia,
Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Sjafii, Inu Kencana, 1994, Pengantar Ilmu
Pemerintahan, CV. Mandar Madju, Bandung.
Tim Pustaka Kendi, 2004, Desentralisasi
dalam Prakrtek, tejemahan dari Henry Maddick,1961, Democracy,
Decentralisation and Development.
Tricahyo,Ibnu, 2005, Undang-Undang
32 dan 33 tahun 2004. Pilkada Langsung, dalam Pelatihan DPRD Kabupaten
Malang tanggal 18 dan 19 Januari 2005 di Batu.
Utomo, Tri Widodo W.,2004, Pilkada
Langsung dalam Kerangka Reformasi Birokrasi: Beberapa Catatan Kritis, dalam
Inovasi Online, vol.2/XVI/Nov.2004