Senin, 26 November 2012

Tanggung Jawab Sosial Perusahaan CSR



Tanggung Jawab Sosial Perusahaan CSR

A. Latar Belakang Masalah

Tanggung jawab sosial perusahaan atau corporate social  responsibility (untuk selanjutnya disebut CSR) mungkin masih kurang popular dikalangan pelaku usaha nasional. Namun, tidak berlaku bagi pelaku usaha asing. Kegiatan sosial kemasyarakatan yang dilakukan secara sukarela itu, sudah biasa dilakukan oleh perusahaan-perusahaan multinasional ratusan tahun lalu.
Berbeda dengan  kondisi Indonesia, di sini kegiatan CSR baru dimulai beberapa tahun  belakangan. Tuntutan masyarakat dan perkembangan demokrasi serta derasnya arus globalisasi dan pasar bebas, sehingga memunculkan kesadaran dari dunia industri tentang pentingnya melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan (CSR).  Walaupun sudah lama prinsip-prinsip CSR diatur dalam peraturan perundang-undangan dalam lingkup hukum perusahaan. Namun amat disesalkan dari hasil survey yang dilakukan oleh Suprapto pada tahun 2005 terhadap 375 perusahaan di Jakarta menunjukkan bahwa 166 atau 44,27 % perusahaan menyatakan tidak melakukan kegiatan CSR dan 209 atau 55,75 % perusahaan melakukan kegiatan CSR. Sedangkan bentuk CSR yang dijalankan meliputi; pertama, kegiatan kekeluargaan (116 perusahaan), kedua, sumbangan pada lembaga agama (50 perusahaan), ketiga, sumbangan pada yayasan social (39) perusahaan) keempat, pengembangan komunitas (4 perusahaan). Survei  ini juga mengemukakan bahwa CSR yang dilakukan oleh perusahaan amat tergantung pada keinginan dari pihak manajemen perusahaan sendiri.
Hasil Program Penilaian Peringkat Perusahaan (PROPER) 2004-2005 Kementerian Negara Lingkungan Hidup menunjukkan bahwa dari 466 perusahaan dipantau ada 72 perusahaan mendapat rapor hitam, 150 merah, 221 biru, 23 hijau, dan tidak ada yang berperingkat emas. Dengan begitu banyaknya perusahaan yang mendapat rapor hitam dan merah, menunjukkan bahwa mereka tidak menerapkan tanggung jawab lingkungan. Disamping itu dalam prakteknya tidak semua perusahaan menerapkan CSR. Bagi kebanyakan perusahaan, CSR dianggap sebagai parasit yang dapat membebani biaya “capital maintenance”. Kalaupun ada yang melakukan CSR, itupun dilakukan untuk adu gengsi. Jarang ada CSR yang memberikan kontribusi langsung kepada masyarakat. 
Kondisi tersebut makin populer tatkala DPR mengetuk palu tanda disetujuinya klausul CSR masuk ke dalam UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UU PT) dan UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (UU PM).  Pasal 74 UU PT yang menyebutkan bahwa setiap perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan. Jika tidak dilakukan, maka perseroan tersebut bakal dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
Aturan lebih tegas sebenarnya juga sudah ada di UU PM Dalam pasal 15 huruf b disebutkan, setiap penanam modal berkewajiban melaksankan tanggung jawab sosial perusahaan. Jika tidak, maka dapat dikenai sanksi mulai dari peringatan tertulis, pembatasan kegiatan usaha, pembekuan kegiatan usaha dan/atau fasilitas penanaman modal, atau pencabutan kegiatan usaha dan/atau  fasilitas penanaman modal  (pasal 34 ayat (1) UU PM).  
Tentu saja kedua ketentuan undang-undang tersebut membuat fobia sejumlah kalangan terutama pelaku usaha lokal. Apalagi munculnya Pasal 74 UU PT yang terdiri dari 4 ayat itu sempat mengundnag polemik. Pro dan  kontra terhadap ketentuan tersebut masih tetap berlanjut sampai sekarang. Kalangan pelaku bisnis yang tergabung dalam  Kadin  dan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) yang sangat keras menentang kehadiran dari pasal tersebut. Pertanyaan yang selalu muncul adalah kenapa CSR harus diatur dan menjadi sebuah kewajiban ?  Alasan mereka adalah CSR kegiatan di luar kewajiban perusahaan yang umum dan sudah ditetapkan dalam perundang-undangan formal, seperti : ketertiban usaha, pajak atas keuntungan dan standar lingkungan hidup. Jika diatur sambungnya selain bertentangan dengan prinsip kerelaan, CSR juga akan memberi beban baru kepada dunia usaha. Apalagi kalau bukan menggerus keuangan suatu perusahaan.
Pikiran-pikiran yang menyatakan kontra terhadap pengaturan CSR menjadi sebuah kewajiban, disinyalir dapat menghambat iklim investasi baik bagi perseroan yang sudah ada maupun yang akan masuk ke Indonesia. Atas dasar berbagai pro dan kontra itulah tulisan ini diangkat untuk memberikan urun rembug terhadap pemahaman CSR dalam perspektif kewajiban hukum.
B. Rumusan Masalah
            Dari latar belakang dan problematika yang muncul tersebut di atas maka permasalahan yang akan dikaji dalam tulisan ini adalah bagaimanakah esensi pengaturan  hukum CSR dan implikasinya dalam meningkatkan iklim investasi di Indonesia ?
C. Pembahasan
1. Esensi Pengaturan CSR sebagai Kewajiban Hukum      
 Sebelum membahas  lebih jauh mengenai hubungan antara CSR dan implikasinya terhadap iklim penanaman modal  perlu kiranya mengetahui apa yang dimaksud dengan CSR. Sampai saat ini belum ada kesamaan pandang mengenai konsep dan penerapan CSR, meskipun kalangan dunia usaha menyadari bahwa  CSR ini amat penting bagi keberlanjutan usaha suatu perusahaan. Gurvy Kavei mengatakan, bahwa praktek CSR dipercaya menjadi landasan fundamental bagi pembangunan berkelanjutan (sustainability development), bukan hanya bagi perusahaan, tetapi juga bagi stakeholders dalam arti keseluruhan. Hal tersebut terlihat dari berbagai rumusan CSR yaitu sebagai berikut :
  1. The World Business Council for Sustainable Development (WBCSD) menyebutkan CSR sebagai “continuing commitment by business to behave ethically and contribute to economic development while improving the quality of life of the workforce and their families as wol as of the local community and society at large”.
    1. John Elkingston’s menegaskan “Corporate Social Responsibility is a concept that organisation especially (but not only) corporations, have an obligation to consider the interestts of costomers, employees, shareholders, communities, and ecological considerations in all aspectr of theiroperations. This obligation is been to extend beyond their statutory obligation to comply with legislation”. 

  1. Penjelasan pasal 15 huruf b UU Penanaman Modal menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan “tanggung jawab sosial perusahaan” adalah tanggung jawab yang melekat pada setiap perusahaan penanaman modal untuk tetap menciptakan hubungan yang serasi, seimbang, dan sesuai dengan lingkungan, nilai, norma, dan budaya masyarakat setempat “.
  2. Pasal 1 angka 3 UUPT , tangung jawab sosial dan lingkungan adalah komitmen perseroan untuk berperan serta dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat, baik bagi perseroan sendiri, komunitas setempat maupun masyarakat pada umumnya.
Dari pengertian-pengertian  CSR tampak belum adanya keseragaman ataupun persamaan persepsi dan pandangan mengenai CSR. Terlihat dari ketentuan dalam UUPM dan UUPT, melihat tanggung jawab sosial pada titik pandang yang berbeda. UUPM lebih menekankan CSR sebagai upaya perusahaan untuk menciptakan harmonisasi dengan lingkungan di mana ia beroperasi. Sedangkan UUPT justru mencoba memisahkan antara tanggung jawab sosial dengan tanggung jawab lingkungan. UUPM bertolak dari konsep tanggung jawab perusahaan pada aspek ekonomi, sosial dan lingkungan (triple bottom line). Namun demikian keduanya mempunyai tujuan yang sama mengarah pada CSR sebagai sebuah komitmen perusahaan terhadap pembangunan ekonomi berkelanjutan dalam upaya meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan.
Jika ditarik pada berbagai pengertian di atas maka CSR merupakan komitmen perusahaan terhadap kepentingan pada stakeholders dalam arti luas dari sekedar kepentingan perusahaan belaka. Dengan kata lain, meskipun secara moral adalah baik bahwa perusahaan maupun penanam modal  mengejar keuntungan, bukan berarti perusahaan ataupun penanam modal   dibenarkan mencapai keuntungan dengan mengorbankan kepentingan-kepentngan pihak lain yang terkait.         
Dengan adanya ketentuan CSR sebagai sebuah kewajiban dapat merubah pandangan maupun perilaku dari pelaku usaha, sehingga CSR tidak lagi dimaknai sekedar tuntutan moral an-sich, tetapi diyakinkan sebagai kewajiban perusahaan yang harus dilaksanakan.
Kesadaran ini memberikan makna bahwa perusahaan bukan lagi sebagai entitas yang mementingkan diri sendiri, alienasi dan atau eksklusifitas dari lingkungan masyarakat, melainkan sebuah entitas usaha yang wajib melakukan adaptasi kultural dengan lingkungan sosial. Sehingga tidak berkelebihan jika ke depan CSR harus dimaknai bukan lagi hanya sekedar responsibility karena bersifat voluntary, tetapi harus dilakukan sebagai mandatory dalam makna liability karena disertai dengan sanksi.[5]      
Menyikapi kondisi yang ada tersebut, bahwa hukum sebagai produk kebijakan politik tidak selamanya merupakan conditio sine qua non  bagi tujuan yang hendak dicapai. Hal ini menunjukkan hukum mempunyai batas-batas kemampuan tertentu untuk mengakomodasi nilai-nilai yang tumbuh dan hidup dalam komunitas masyarakat, oleh karena itu Roscoe Pound menyatakan bahwa tugas hukum yang utama dalah ”social engineering”. Dalam doktrin ini dikatakan bahwa hukum harus dikembangkan sesuai dengan perubahan-perubahan nilai sosial. Untuk itu sebaiknya diadakan rumusan-rumusan kepentingan yang ada dalam masyarakat yaitu kepentingan pribadi, masyarakat dan umum. 
Dengan demikian hukum bagi Roscoe Pound merupakan alat untuk membangun masyarakat (law is a tool of social engineering). Sehingga hokum bukan saja berdasarkan pada akal, tetapi juga pengalaman. Akal diuji oleh pengalaman dan pengalaman yang dikembangkan oleh akal.   
Konteks tanggung jawab social (CSR) dalam hal ini ada kewajiban bertanggung jawab atas perintah undang-undang, dan memperbaiki atau sebaliknya memberi ganti rugi atas kerusakan apa pun yang telah ditimbulkan.  Tanggung jawab social berada pada ranah moral, sehingga posisinya tidak sama dengan hokum. Moral dalam tanggung ajwab social lebih mengarah pada tindakan lahiriah yang didasarkan sepenuhnya dari sikap batiniha, sikap inilah yang dikenal dengan “moralitas” yaitu sikap dan perbuatan baik yang betul-betul tanpa pamrih. Sedangkan tanggung jawab hokum lebih menekankan pada ksesuaian sikap lahiriah dengan aturan, meskipun tindakan tersbeut secara obyektif tidak salah, barangkali baik dan sesuai dengan pandanan moral, hokum, dan nilai-nilai budaya masyarakat. Namun demikian kesesuaian saja tidak dapat dijadikan dasar untuk menarik suatu kesimpulan karena tidak tahu motivasi atau maksud yang mendasarinya.
Bila dikaitkan dengan teori tanggung jawab sosial dengan aktivitas perusahaan, maka dapat dikatakan bahwa tanggung jawab sosial lebih menekankan pada kepedulian perusahaan terhadap kepentingan stakeholders dalam arti luas dari pada kepedulian perusahaan terhadap kepentingan perusahaan belaka Dengan demikian konsep tanggung jawab sosial lebih menekankan pada tanggung jawab perusahaan atas tindakan dan kegiatan usahanya yang berdampak pada orang-orang tertentu, masyarakat dan lingkungan di mana perusahaan- perusahaan melakukan aktivitas usahanya sedemikian rupa, sehingga tidak berdampak negatif pada pihak-pihak tertentu dalam masyarakat. Sedangkan secara positif hal ini mengandung makna bahwa perusahaan harus menjalankan kegiatannya sedemikian rupa, sehingga dapat mewujudkan masyarakat yang lebih baik dan sejahtera.    
Kondisi Indonesia masih menghendaki adanya CSR sebagai suatu kewajiban hukum. Kesadarna akan adanya CSR masih rendah, kondisinya yang terjadi adalah belum adanya kesadaran moral yang cukup dan bahkan seringkali terjadi  suatu yang diatur saja masih ditabrak, apalagi kalau tidak diatur. Karena ketaatan orang terhadap hukum masih sangat rendah.  CSR lahir dari desakan masyarakat atas perilaku perusahaan yang mengabaikan tanggung jawab sosial, seperti : perusakan lingkungan, eksploitasi sumber daya alam, “ngemplang” pajak, dan menindas buruh. Lalu, kebanyakan perusahaan juga cenderung membuat jarak dengan masyarakat sekitar.
Jika situasi dan kondisi yang terjadi masih seperti tersebut di atas, maka hukum harus berperan. Tanggung jawab perusahaan yang semula adalah tanggung jawab non hukum (responsibility) akan berubah menjadi tanggung jawab hukum (liability). Otomatis perusahaan yang tidak memenuhi perundang-undangan dapat diberi sanksi. 
2. CSR dan Implikasinya pada Iklim Penanaman Modal di Indonesia
Selanjutnya akan dibahas mengenai bagaimana CSR dan implikasinya terhadap iklim penanaman modal di Indonesia. Penanaman modal dalam  UUPM No. 25 Tahun 2007, Pasal  1 angka 1 dinyatakan bahwa ”Penanaman modal adalah segala bentuk kegiatan menanam modal, baik oleh penanam modal dalam negeri maupun penanam modal asing untuk melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia”.
Kehadiran UUPM NO. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal diharapkan, mampu memberikan angin segar kepada investor dan memberikan iklim investasi yang menggairahkan. Kenyamanan dan ketertarikan investor asing terutama apabila terciptanya sebuah kepastian hukum dan jaminan adanya keselamatan dan kenyamanan terhadap modal yang ditanamkan.       Secara garis besar tujuan dari dikeluarkannya UU PM  tentunya disamping memberikan kepastian hukum juga adanya transparansi dan tidak membeda-bedakan serta memberikan perlakuan yang sama kepada investor dalam dan luar negeri.
Dengan adanya kepastian hukum dan jaminan kenyamanan serta keamanan terhadap investor, tentunya akan meningkatkan daya saing Indonesia di pasar global yang merosot sejak terjadinya krisis moneter. Berkaitan dengan hal tersebut, penanaman modal harus menjadi bagian dari penyelenggaraan perekonomian nasional dan ditempatkan sebagai upaya untuk menigkatkan pertumbuhan ekonomi nasional, menciptakan lapangan kerja, meningkatkan pembangunan ekonomi berkelanjutan, meningkatkan kapasitas dan kemampuan teknologi nasional, mendorong pembangunan ekonomi kerakyatan, serta mewujudkan kesejahteraan masyarakat dalam suatu sistem perekonomian yang berdaya saing.
Tujuan penyelenggaraan penanaman modal hanya dapat tercapai apabila faktor penunjang yang menghambat iklim investasi dapat diatasi, antara lain melalui perbaikan koordinasi antarinstansi Pemerintah Pusat dan Daerah, penciptaan birokrasi yang efisien, kepastian hukum di bidang penanaman modal, biaya ekonomi yang berdaya saing tinggi, serta iklim usaha yang kondusif di bidang ketenagakerjaan dan keamanan berusaha. Dengan perbaikan faktor tersebut, diharapkan realisasi penanaman modal akan membaik secara signifikan.
Suasana kebatinan yang diharapkan oleh pembentuk UU PM, didasarkan pada semangat ingin menciptakan iklim penanaman modal yang kondusif yang salah satu aturannya mengatur tentang kewajiban untuk menjalankan CSR. Bagi pelaku usaha (pemodal baik dalam maupun asing) memiliki    kewajiban untuk menyelenggarakan CSR baik dalam aspek lingkungan, sosial maupun budaya.
 Penerapan kewajiban CSR sebabagaimana diatur dalam UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal , Pasal 15 huruf b menyebutkan ”Setiap penanam modal berkewajiban melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan”. Jika tidak dilakukan maka dapat diberikan sanksi administrasi berupa peringatan tertulis, pembatasan kegiatan usaha, pembekuan, hingga pencabutan kegiatan usaha dan/atau fasilitas penanaman modal (Pasal 34 ayat (1) UU No. 25 Tahun 2007). Sedangkan yang dimaksud “tanggung jawab sosial perusahaan” adalah tanggung jawab yang melekat pada setiap perusahaan penanaman modal untuk tetap menciptakan hubungan yang serasi, seimbang, dan sesuai dengan lingkungan, nilai, norma, dan budaya masyarakat setempat. 
Ilustrasi yang menggambarkan keinginan dari berbagai anggota dewan pada waktu itu adalah kewajiban CSR terpaksa dilakukan lantaran banyak perusahaan multinasional yang beroperasi di Indonesia, lepas dari tanggung jawabnya dalam mengelola lingkungan. ”Pengalaman menunjukkan, bahwa banyak sekali perusahaan yang hanya melakukan kegiatan operasional tetapi kurang sekali memberikan perhatian terhadap kepentingan sosial”. Beberapa contoh kasus , seperti : lumpur Lapindo di Porong, lalu konflik masyarakat Papua dengan PT. Freeport Indonesia, konflik masyarakat Aceh dengan Exxon Mobile yang mengelola gas bumi di Arun, pencemaran oleh Newmont di Teluk Buyat dan sebagainya.
Alasan lainnya adalah kewajiban CSR juga sudah diterapkan pada perusahaan BUMN. Perusahaan-perusahaan pelat merah telah lama menerapkan CSR dengan cara memberikan bantuan kepada pihak ketiga dalam bentuk pembangunan fisik. Kewajiban itu diatur dalam Keputusan Menteri BUMN maupun Menteri Keuangan sejak tahun 1997. ”oleh karena itu, perusahaan yang ada di Indonesia sudah waktunya turut serta memikirkan hal-hal yang berkaitan dengan lingkungan dimana perusahaan itu berada”. 
Tren globalisasi menunjukkan hal-hal yang berkaitan dengan lingkungan sudah menjadi hal yang mendesak bagi kepentingan umat manusia secara keseluruhan. Lingkungan hidup yang sehat merupakan bagian dari hak azasi manusia. Di Inggris dan Belanda misalnya, CSR menjadi sebuah penilaian hukum oleh otoritas pasar modal, disamping penilaian dari publik sendiri. ”Kalau perusahaan itu tidak pernah melakukan CSR justru kinerja saham di bursa saham kurang bagus”.
 CSR dalam konteks penanaman modal harus dimaknai sebagai instrumen untuk mengurangi praktek bisnis yang tidak etis. Oleh karena itu harus dibantah pendapat yang menyatakan CSR identik dengan kegiatan sukarela, dan menghambat iklim investasi. CSR merupakan sarana untuk meminimalisir dampak negatif dari proses produksi bisnis terhadap publik, khususnya dengan para stakeholdernya. Maka dari itu, sangat tepat apabila CSR diberlakukan sebagai kewajiban yang sifatnya mandatory dan harus dijalankan oleh pihak perseroan selama masih beroperasi. Demikian pula pemerintah sebagai agen yang mewakili kepentingan publik. Sudah sepatutnya mereka (pemerintah) memiliki otoritas untuk melakukan penataan atau meregulasi CSR.
Dengan demikian, keberadaan perusahaan akan menjadi sangat bermanfaat, sehingga dapat menjalankan misinya untuk meraih optimalisasi profit, sekaligus dapat menjalankan misi sosialnya untuk kepentingan masyarakat. Pengaturan mengenai tanggung jawab penanam modal diperlukan untuk mendorong iklim persaingan usaha yang sehat, memperbesar tanggung jawab lingkungan dan pemenuhan hak dan kewajiban  serta upaya mendorong ketaatan penanam modal terhadap peraturan perundang-undangan.
Pelaksanaan CSR secara konsisten oleh perusahaan akan mampu menciptakan iklim investasi (penanaman modal). Anggapan yang mengatakan bahwa CSR akan menghambat iklim investasi patut ditolak. Ada kewajiban bagi setiap penanam modal yang datang ke Indonesia wajib mentaati aturan atau hukum yang berlaku di Indonesia, apapun bentuknya. Indonesia masih menjanjikan bagi investor dalam maupun asing. Sumber daya alam masih merupakan daya tarik tersendiri dibandingkan negara-negara sesama ASEAN dalam posisi  Sumber Daya Alam (SDA) dan Sumber Daya Manusia (SDM). Kondisi tersebut dapat terwujud apabila diimbangi dengan  manfaat dari kesiapan peningkatan mutu infrastrukturt, manusia, pengetahuan dan fisik.
UU PM memberikan jaminan kepada seluruh investor, baik asing maupun lokal, berdasarkan asas kepastian hukum, keterbukaan, akuntabilitas, perlakuan yang sama dan tidak membedakan asal negara, kebersamaan, efisiensi, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, dan keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.   
            CSR dalam UUPM dapat terlaksana jika dibarengi dengan lembaga yang kuat dalam menegakkan aturan dan proses yang benar. Sebagaimana dikatakan oleh Mochtar Kusumaatmadja, pengertian hukum yang memadai harus tidak hanya memandang hukum itu sebagai suatu perangkat kaidah dan azas-azas yang mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat, tapi harus pula mencakup lembaga (institutions) dan proses (processes) yang diperlukan untuk mewujudkan hukum itu dalam kenyataan. 
D. Penutup  
1. Kesimpulan
            Berdasarkan latar belakang dan pembahasan di atas maka kesimpulan yang dapat diambil dalam tulisan ini adalah sebagai berikut : pelaksanaan CSR yang baik dan benar sesuai dengan aturan hukum yang berlaku akan berimplikasi pada iklim penanaman modal yang kondusif. Untuk bisa mewujudkan CSR setiap pelaku usaha (investor) baik dalam maupun asing  yang melakukan kegiatan di wilayah RI wajib melaksanakan aturan dan tunduk kepada hukum yang berlaku di Indonesia, sebaliknya pemerintah sebagai regulator wajib dan secara konsisten menerapkan aturan dan sanksi apabila ada pelanggaran yang dilakukan oleh perusahaan yang tidak melaksanakan CSR sesuai dengan ketentuan undang-undang  yang berlaku.
2. Saran-saran
a. Pemerintah perlu terus melakukan sosialisasi kepada para pelaku usaha untuk menyamakan persepsi mengenai pentingnya CSR dalam mewujudkan iklim penanaman modal di Indonesia.
b. Dibutuhkan konsistensi dan komitmen baik dari pemerintah maupun pelaku usaha (investor) dalam melakssanakan CSR sebagai suatu kewajiban hukum.

Prinsip Etis Dalam Bisnis



PRINSIP ETIS DALAM BISNIS

Sebelum berbicara jauh mengenai prinsip-prinsip etis dalam bisnis dan untuk lebih memahami konsep dan pengertiannya, berikut ini adalah beberapa kasus pendekatan mengenai evaluasi moral antara lain :
1. Kasus Pengesahan Undang – Undang Apartheid Pertama
Sistem Apartheid yang dikuasai oleh Partai Nasional khusus Kulit Putih melegalkan diskriminasi rasial pada seluruh aspek kehidupan. Sistem apartheid ini menghapuskan seluruh penduduk kulit hitam dari hak politik dan hak sipilnya seperti mereka tidak dapat memilih, tidak dapat jabatan politis yang penting, tidak dapat bergabung secaara kolektif, atau pun hak atas Undang-undang. Hal inilah yang mengakibatkan kulit hitam melakukan demontrasi berkali – kali melawan pemerintahan kulit putih Afrika Selatan. Aksi tersebut langsung ditanggapi oleh pemerintah Kulit Putih Afrika Selatan dengan pembunuhan, penangkapan di mana – mana serta represi. Termasuk ditangkapnya Nelson Mandela (anak pimpinan kulit hitam).
2. Kasus Pertentangan akan Kedudukan Perusahaan Caltex di Afrika Selatan.
Hal ini dipicu adanya penentangan yang dilakukan para pemegang saham agar Caltex memutuskan hubungan dengan pemerintah Afrika Selatan dengan alasan bahwa orang kulit hitam tidak punya hak di wilayah kulit putih. Perdebatan tentang apakah Caltex perlu melanjutkan operasinya di Afrika Selatan ini merupakan perdebatan moral. Argumen yang diajukan oleh kedua belah pihak tersebut mengacu pada pertimbangan moral, yang dapat dikelompokkan menjadi 4 jenis standar moral yaitu utilitarianisme, hak, keadilan, dan perhatian. Pertimbangan moral yang diajukan manajer Caltex antara lain jika perusahaan tetap melaksanakan operasi di Afrika Selatan maka kesejahteraan orang kulit hitam dan kulit putih akan meningkat, namun jika perusahaan pergi maka orang kulit hitamlah yang akan mengalami kerugian besar. Pernyataan inilah yang disebut dengan standar moralitas utilitarian yaitu prinsip moral yang mengklaim bahwa sesuatu dianggap benar bila mampu menekan biaya sosial dan memberikan keuntungan sosial yang lebih besar.
Pernyataan manajer Caltex yang akan memberikan perhatian khusus bagi pekerja kulit hitam dan pertanggungjawaban akan kesejahteraaan mereka inilah yang disebut Etika memberi perhatian. Artinya etika yang menekankan pada usaha memberikan perhatian terhadap kesejahteraan orang sekitar. Sedangkan perjuangan dari seorang Nelson Mandela yang sangat berani inlah yang disebut dengan etika kebaikan. Hal ini dikarenakan jenis evaluasi yang didasarkan atas karakter moral seseorang atau kelompok..
Perspektif imparsial dari teori hak tidak meyatakan baywa Feuerstein kewajiban moral apa pun pada pegawainya setelah terjadi kebakaran tersebut. Keadilan impaesial tidak mewajibkan perusahaan untuk memberikan bantuan pada para pegawai pada saat mereka tidak bekerja ataupun pemiliki harus membangun kembali pabrik baru di tempat yang sama.
Parsialitas dan Perhatian
Kita memiliki kewajiban untuk memberikan perhaitian khusus pada individu-individu tertentu yang menjalin hubungan erat dengan kita, khususnya hubungan ketergantungan merupakan konsep utama dalam etika memberi perhatian. Penekanan dalam etika perhatian :
  1. Kita hidup dalam suatu rangkaian hubungan dan wajib serta mengembangkan hubungan yang konkret dan bernilai dengan orang lain.
  2. Kita memberikan perhatian khusus kepada orang-orang yang menjalin hubungan baik dengan kita.
Etika perhatian sangat terkait dengan etika komunitarian. Etika komunitarian adalah etika yang melihat komunits dan hubungan yang fundamental.
Tiga bentuk perhatian : perhatian pada sesuatu adalah semacam perhatian atau kepentingan terhadap suatu gagasan atau di mana tidak ada orang kedua yang terlibat. Perhatian terhadap seseorang, dan perhatian dalam arti menjaga. Perhatian dalam arti menjaga merupakan yang dipersayaratkan dalam etika perhatian ini mrip seorang ibu yang menjaga anaknya. Ada dua hal yang perlu diperhatikan yaitu, tidak semua hubungan memilki nilai dan tidak semuanya menciptakan kewajiaba untuk memberi perhatian. Kedua bahwa perhatian kadang menimbulkan konflik.
Moralitas dalam Konteks Internasional.
Perusahaan multinasional sering beroperasi di negara-negara dengan tingkat perkembangan yang sangat berbeda. Sejumlah negara memilki sumnber daya teknis, sosial, ekonomi yang tinggi namun di sejumlah negara lain masih kurang. Yang paling mencolok praktik-praktik budaya di sejumlah negara mungkin sangat berbeda sehingga suatu tindakan kadang memilki arti berbeda dalam dua budaya.
Maka sudah jelas bahwa kondisi lokal khususnya kondisi perkembangan setidaknya perlu dipertimbangkan saat memutuskan apakah suatu perusahaan perlu menerapkan standar dari negara yang lebih maju atau negara yang kurang maju. Sebagian besar menyatakan perusahaan multinasional haruslah mengikuti praktik-praktik lokal, bahwa mereka harus melakukan apa yang diinginkan pemerintah lokal, karena pemerintah tersebut adalah representatif dari warga lokal. Sementara peraturan pemerintah, tingkat perkembangan, dan pemahaman budaya lokal semuanya harus dipertimbangkan saat mengevaluasi etika kebijakan dari tindakan bisnis internasional.

Minggu, 07 Oktober 2012

Tugas 1 .Pengertian Bisnis, pengertian Etika Bisnis, dan Indikator Etika


Nama               : Isfar Ryan E.P
NPM               : 15209965
Kelas               : 4 EA16
Dosen             : Sri Murtiasih
Matakuliah      : Etika Bisnis #
Tugas 1,.Pengertian Bisnis, pengertian Etika Bisnis, dan Indikator Etika 

PENGERTIAN BISNIS

Bisnis adalah suatu organisasi yang menghasilkan dan menjual product atau jasayang dibutuhkan konsumen pada tingkat keuntungan tertentu.

llmu ekonomi adalah suatu ilmu yang mempelajari tentang usaha manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

Dalam pengertian ekonomi,benda-benda atau barang dibagi 2:

Benda ekonomi: butuh usaha dan pengorbanan untuk mendapatkannya
Benda bebas: tidak membutuhkan usaha dan pengorbanan

Ada 3 hal yang penting dalam bisnis:
• Semua bisnis menghasilkan barang atau jasa
• Semua bisnis mencari keuntungan
• Semua bisnis mencoba meneruskan keinginan konsumen

Mengapa kita perlu belajar bisnis
• The impact of Business (pengaruh kuat bisnis dalam kehidupan sehari-hari)
• Career choise (pilihan karir atau propesi)
• Business ownor ship (keinginan untuk memiliki dan untuk menjelaskankepada konsumen tentang produk yang dihasilkan)

Tujuan bisnis:
• Profit (keuntungan)
• Growth (pertumbuhan)
• Continuity (berkesinambungan)
• Stability (stabilitas)
• Public Service (pelayanan umum)
• Will Fare (sejahtera)

PENGERTIAN ETIKA, ETIKA BISNIS, DAN JENIS – JENIS ETIKA         

Etika bisnis merupakan etika terapan. Etika bisnis merupakan aplikasi pemahaman kita tentang apa yang baik dan benar untuk beragam institusi, teknologi, transaksi, aktivitas dan usaha yang kita sebut bisnis. Etika bisnis merupakan studi standar formal dan bagaimana standar itu diterapkan ke dalam system dan organisasi yang digunakan masyarakat modern untuk memproduksi dan mendistribusikan barang dan jasa dan diterapkan kepada orang-orang yang ada didalam organisasi.

Banyak yang keberatan dengan penerapan standar moral dalam aktivitas bisnis. Beberapa orang berpendapat bahwa orang yang terlibat dalam bisnis hendaknya berfokus pada pencarian keuntungan financial bisnis mereka dan tidak membuang-buang energy mereka atau sumber daya perusahaan untuk melakukan pekerjaan baik.

Etika seharusnya diterapkan dalam bisnis dengan menunjukan bahwa etika mengatur semua aktifitas manusia yang disengaja, dan karena bisnis aktivitas manusia yang disengaja, etika juga hendaknya berperan dalam bisnis. Argument lain berpandangan bahwa, aktivitas bisnis, seperti juga aktivitas manusia lainnya, tidak dapat eksist kecuali orang yang terlibat dalam bisnis dan komunitas sekitarnya taat terhadap standar minimal etika. Bisnis merupakan aktifitas kooperatif yang eksistensinya mensyaratkan prilaku eksis.

Dalam masyarakat tanpa etika, seperti ditulis filsuf Hobbes, ketidakpercayaan dan kepentingan diri yang tidak terbatas akan menciptakan “perang antar manusia terhadap manusia lain”, dan dalam situasi seperti itu hidup akan menjadi “kotor, brutal, dan dangkal”. Karenanya dalam masyarakat seperti itu, tidak mungkin dapat melakukan aktivitas bisnis, dan bisnis akan hancur. Karena bisnis tidak dapat bertahan hidup tanpa etika, maka kepentingan bisnis yang paling utama adalah mempromosikan prilaku etika kepada anggotanya dan juga masyarakat luas.
Etika hendaknya diterapkan dalam bisnis dengan menunjukan bahwa etika konsisten dengan tujuan bisnis, khususnya dalam mencari keuntungan. Contoh merck dikenal karena budaya etisnya yang sudah lama berlangsung, namun ia tetap merupakan perusahaan yang secara spektakuler mendapatkan paling banyak keuntungan sepanjang masa.
Sebagian besar orang akan menilai perilaku etis dengan menghukum siapa saja yang mereka persepsi berprilaku tidak etis, dan menghargai siapa saja yang mereka persepsi berprilaku etis. Pelanggan akan melawan perusahaan jika mereka mempersepsi ketidakadilan yang dilakukan perusahaan dalam bisnis lainnya, dan mengurangi minat mereka untuk membeli produknya. Karyawan yang merasakan ketidakadilan, akan menunjukkan absentisme lebih tinggi, produktivitas lebih rendah, dan tuntutan upah yang tinggi. Sebaliknya, ketika karyawan percaya bahwa organisasi adil, akan senang mengikuti manajer. Melakukan apapun yang dikatakan manajer, dan memandang keputusan manajer sah. Ringkasnya, etika merupakan komponen kunci manajemen yang efektif. Dengan demikian, ada sejumlah argument yang kuat, yang mendukung pandangan bahwa etika hendaknya diterapkan dalam bisnis.

MACAM  ETIKA

Ada dua macam etika yang harus kita pahami bersama dalam menentukan baik dan buruknya perilaku manusia, yaitu:

1.      ETIKA DESKRIPTIF, yaitu etika yang berusaha meneropong secara kritis dan rasional sikap dan prilaku manusia dan apa yang dikerjar oleh manusia dalam hidup ini sebagai suatu yang bernilai. Etika deskriptif memberikan fakta sebagai dasar untuk mengambil keputusan tentang perilaku/sikap yang akan diambil.

2.    ETIKA NORMATIF, yaitu etika yang berusaha menetapkan berbagai sikap dan pola prilaku ideal yang seharusnya dimiliki oleh manusia dalam hidup ini sebagai sesuatu yang bernilai. Etika normatif memberi penilaian sekaligus memberi norma sebagai dasar dan kerangka tindakan yang akan diputuskan.


Secara umum Etika  dapat dibagi menjadi:
1. Etika Umum berbicara mengenai norma dan nilai moral, kondisi-kondisi dasar bagi manusia untuk bertindak secara etis,bagaimana manusia mengambil keputusan etis, teori-teori etika, lembaga-lembaga normatif dan semacamnya.
2. Etika Khusus adalah penerapan prinsip-prinsip atau norma-norma moral dasar dalam bidang kehidupan yang khusus. Penerapan ini bisa berwujud: Bagaimana saya menilai perilaku saya dan orang lain dalam bidang kegiatan dan kehidupan khusus yang dilatarbelakangi oleh kondisi yang memungkinkan manusia bertindak etis: cara bagaimana manusia mengambil suatu keputusan/tindakan, dan teori serta prinsip moral dasar yang ada akibatnya.

Etika Khusus dibagi lagi menjadi 3:
a. Etika Individual lebih menyangkut kewajiban dan sikap manusia terhadap dirinya sendiri.

b. Etika Sosial berbicara mengenai kewajiban dan hak, sikap dan pola perilaku manusia sebagai makhluk sosial dalam interaksinya dengan sesamanya.
Dengan demikian luasnya lingkup dari etika sosial, maka etika sosial ini terbagi atau terpecah menjadi banyak bagian/bidang. Dan pembahasan bidang yang paling aktual saat ini adalah mengenai:
a. Sikap terhadap sesama
b. Etika keluarga
c. Etika profesi
d. Etika politik
e. Etika lingkungan
f.  Etika ideology

c. Etika Lingkungan Hidup, menjelaskan hubungan antara manusia dengan lingkungan sekitarnya dan juga hubungan antara manusia yang satu dengan manusia yang lainnya yang secara langsung maupun tidak langsung berdampak pada lingkungan hidup secara keseluruhan.
INDIKATOR ETIKA BISNIS

Kehidupan bisnis modern menurut banyak pengamat cenderung mementingkan keberhasilan material. Menempatkan material pada urutan prioritas utama, dapat mendorong para pelaku bisnis dan masyarakat umum melirik dan menggunakan paradigma dangkal tentang makna dunia bisnis itu sendiri. Sesungguhnya dunia binis tidak sesadis yang dibayangkan orang dan material bukanlah harga mati yang harus diupayakan dengan cara apa yang dan bagaimanapun. Dengan paradigma sempit dapat berkonotasi bahwa bisnis hanya dipandang sebagai sarana meraih pendapatan dan keuntungan uang semata, dengan mengabaikan kepentingan lainnya. Organisasi bisnis dan perusahaan dipandang hanya sekedar mesin dan sarana untuk memaksimalkan keuntungannya dan dengan demikian bisnis semata-mata berperan sebagai jalan untuk menumpuk kekayaan dan bisnis telah menjadi jati diri lebih dari mesin pengganda modal atau kapitalis.
Dari sudut pandang etika, keuntungan bukanlah hal yang baru, bahkan secara moral keuntungan merupakan hal yang baik dan diterima. Alasannya adalah sebagai berikut:
1. Secara moral keuntungan memungkinkan organisasi/perusahaan untuk bertahan dalam kegiatan bisnisnya.
2. Tanpa memperoleh keuntungan tidak ada pemilik modal yang bersedia menanamkan modalnya, dan karena itu berarti tidak akan terjadi aktivitas yang produktif dalam memacu pertumbuhan ekonomi.
3. Keuntungan tidak hanya memungkinkan perusahaan bertahan melainkan dapat menghidupi karyawannya ke arah tingkat hidup yang lebih baik. Keuntungan dapat dipergunakan sebagai pengembangan perusahaan sehingga hal ini akan membuka lapangan kerja baru.
Implementasi etika dalam penyelenggaraan bisnis mengikat setiap personal menurut bidang tugas yang diembannya. Dengak kata lain mengikat manajer, pimpinan unit kerja dan kelembagaan perusahaan. Semua anggota organisasi/perusahaan sesuai dengan tugas pokok dan fungsi harus menjabarkan dan melaksanakan etika bisnis secara konsekuen dan penuh tanggung jawab. Dalam pandangan sempit perusahaan dianggap sudah dianggap melaksanakan etika bisnis bilamana perusahaan yang bersangkutan telah melaksanakan tanggung jawab sosialnya. Dari berbagai pandangan etika bisnis, beberapa indikator yang dapat dipakai untuk menyatakan bahwa seseorang atau perusahaan telah mengimplementasikan etika bisnis antara lain adalah:
1.   Indikator Etika Bisnis menurut ekonomi adalah apabila perusahaan atau pebisnis telah melakukan pengelolaan sumber daya bisnis dan sumber daya alam secara efisien tanpa merugikan masyarakat lain.
2.   Indikator Etika Bisnis menurut peraturan khusus yang berlaku. Berdasarkan indikator ini seseorang pelaku bisnis dikatakan beretika dalam bisnisnya apabila masing-masing pelaku bisnis mematuhi aturan-aturan khusus yang telah disepakati sebelumnya.
3.   Indikator Etika Bisnis menurut hukum. Berdasarkan indikator hukum seseorang atau suatu perusahaan dikatakan telah melaksanakan etika bisnis apabila seseorang pelaku bisnis atau suatu perusahaan telah mematuhi segala norma hukum yang berlaku dalam menjalankan kegiatan bisnisnya.
4.   Indikator Etika Bisnis berdasarkan ajaran agama. Pelaku bisnis dianggap beretika bilamana dalam pelaksanaan bisnisnya senantiasa merujuk kepada nilai-nilai ajaran agama yang dianutnya.
5.   Indikator Etika Bisnis berdasarkan nilai budaya. Setiap pelaku bisnis baik secara individu maupun kelembagaan telah menyelenggarakan bisnisnya dengan mengakomodasi nilai-nilai budaya dan adat istiadat yang ada disekitar operasi suatu perusahaan, daerah dan suatu bangsa.
6.   Indikator Etika Bisnis menurut masing-masing individu adalah apabila masing-masing pelaku bisnis bertindak jujur dan tidak mengorbankan integritas pribadinya.



       http://melvino84.blogspot.com/2011/10/indikator-etika-bisnis_14.html