Tanggung Jawab Sosial Perusahaan CSR
Tanggung jawab sosial perusahaan atau corporate social responsibility
(untuk selanjutnya disebut CSR) mungkin masih kurang popular dikalangan
pelaku usaha nasional. Namun, tidak berlaku bagi pelaku usaha asing.
Kegiatan sosial kemasyarakatan yang dilakukan secara sukarela itu, sudah
biasa dilakukan oleh perusahaan-perusahaan multinasional ratusan tahun
lalu.
Berbeda dengan kondisi Indonesia, di
sini kegiatan CSR baru dimulai beberapa tahun belakangan. Tuntutan
masyarakat dan perkembangan demokrasi serta derasnya arus globalisasi
dan pasar bebas, sehingga memunculkan kesadaran dari dunia industri
tentang pentingnya melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan (CSR).
Walaupun sudah lama prinsip-prinsip CSR diatur dalam peraturan
perundang-undangan dalam lingkup hukum perusahaan. Namun amat disesalkan
dari hasil survey yang dilakukan oleh Suprapto pada tahun 2005 terhadap
375 perusahaan di Jakarta menunjukkan bahwa 166 atau 44,27 % perusahaan
menyatakan tidak melakukan kegiatan CSR dan 209 atau 55,75 % perusahaan
melakukan kegiatan CSR. Sedangkan bentuk CSR yang dijalankan meliputi;
pertama, kegiatan kekeluargaan (116 perusahaan), kedua, sumbangan pada
lembaga agama (50 perusahaan), ketiga, sumbangan pada yayasan social
(39) perusahaan) keempat, pengembangan komunitas (4 perusahaan).
Survei ini juga mengemukakan bahwa CSR yang dilakukan oleh perusahaan
amat tergantung pada keinginan dari pihak manajemen perusahaan sendiri.
Hasil Program Penilaian Peringkat
Perusahaan (PROPER) 2004-2005 Kementerian Negara Lingkungan Hidup
menunjukkan bahwa dari 466 perusahaan dipantau ada 72 perusahaan
mendapat rapor hitam, 150 merah, 221 biru, 23 hijau, dan tidak ada yang
berperingkat emas. Dengan begitu banyaknya perusahaan yang mendapat
rapor hitam dan merah, menunjukkan bahwa mereka tidak menerapkan
tanggung jawab lingkungan. Disamping itu dalam prakteknya tidak semua
perusahaan menerapkan CSR. Bagi kebanyakan perusahaan, CSR dianggap
sebagai parasit yang dapat membebani biaya “capital maintenance”.
Kalaupun ada yang melakukan CSR, itupun dilakukan untuk adu gengsi.
Jarang ada CSR yang memberikan kontribusi langsung kepada masyarakat.
Kondisi tersebut makin populer tatkala
DPR mengetuk palu tanda disetujuinya klausul CSR masuk ke dalam UU No.
40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UU PT) dan UU No. 25 Tahun
2007 tentang Penanaman Modal (UU PM). Pasal 74 UU PT yang menyebutkan
bahwa setiap perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang
dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan tanggung
jawab sosial dan lingkungan. Jika tidak dilakukan, maka perseroan
tersebut bakal dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan.
Aturan lebih tegas sebenarnya juga sudah
ada di UU PM Dalam pasal 15 huruf b disebutkan, setiap penanam modal
berkewajiban melaksankan tanggung jawab sosial perusahaan. Jika tidak,
maka dapat dikenai sanksi mulai dari peringatan tertulis, pembatasan
kegiatan usaha, pembekuan kegiatan usaha dan/atau fasilitas penanaman
modal, atau pencabutan kegiatan usaha dan/atau fasilitas penanaman
modal (pasal 34 ayat (1) UU PM).
Tentu saja kedua ketentuan undang-undang
tersebut membuat fobia sejumlah kalangan terutama pelaku usaha lokal.
Apalagi munculnya Pasal 74 UU PT yang terdiri dari 4 ayat itu sempat
mengundnag polemik. Pro dan kontra terhadap ketentuan tersebut masih
tetap berlanjut sampai sekarang. Kalangan pelaku bisnis yang tergabung
dalam Kadin dan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) yang sangat
keras menentang kehadiran dari pasal tersebut. Pertanyaan yang selalu
muncul adalah kenapa CSR harus diatur dan menjadi sebuah kewajiban ?
Alasan mereka adalah CSR kegiatan di luar kewajiban perusahaan yang umum
dan sudah ditetapkan dalam perundang-undangan formal, seperti :
ketertiban usaha, pajak atas keuntungan dan standar lingkungan hidup.
Jika diatur sambungnya selain bertentangan dengan prinsip kerelaan, CSR
juga akan memberi beban baru kepada dunia usaha. Apalagi kalau bukan
menggerus keuangan suatu perusahaan.
Pikiran-pikiran yang menyatakan kontra
terhadap pengaturan CSR menjadi sebuah kewajiban, disinyalir dapat
menghambat iklim investasi baik bagi perseroan yang sudah ada maupun
yang akan masuk ke Indonesia. Atas dasar berbagai pro dan kontra itulah
tulisan ini diangkat untuk memberikan urun rembug terhadap pemahaman CSR
dalam perspektif kewajiban hukum.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang dan
problematika yang muncul tersebut di atas maka permasalahan yang akan
dikaji dalam tulisan ini adalah bagaimanakah esensi pengaturan hukum
CSR dan implikasinya dalam meningkatkan iklim investasi di Indonesia ?
C. Pembahasan
1. Esensi Pengaturan CSR sebagai Kewajiban Hukum
Sebelum membahas lebih jauh mengenai
hubungan antara CSR dan implikasinya terhadap iklim penanaman modal
perlu kiranya mengetahui apa yang dimaksud dengan CSR. Sampai saat ini
belum ada kesamaan pandang mengenai konsep dan penerapan CSR, meskipun
kalangan dunia usaha menyadari bahwa CSR ini amat penting bagi
keberlanjutan usaha suatu perusahaan. Gurvy Kavei mengatakan, bahwa
praktek CSR dipercaya menjadi landasan fundamental bagi pembangunan
berkelanjutan (sustainability development), bukan hanya bagi perusahaan, tetapi juga bagi stakeholders dalam arti keseluruhan. Hal tersebut terlihat dari berbagai rumusan CSR yaitu sebagai berikut :
- The World Business Council for Sustainable Development (WBCSD)
menyebutkan CSR sebagai “continuing commitment by business to behave
ethically and contribute to economic development while improving the
quality of life of the workforce and their families as wol as of the
local community and society at large”.
- John Elkingston’s menegaskan “Corporate Social Responsibility is a concept that organisation especially (but not only) corporations, have an obligation to consider the interestts of costomers, employees, shareholders, communities, and ecological considerations in all aspectr of theiroperations. This obligation is been to extend beyond their statutory obligation to comply with legislation”.
- Penjelasan pasal 15 huruf b UU Penanaman Modal menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan “tanggung jawab sosial perusahaan” adalah tanggung jawab yang melekat pada setiap perusahaan penanaman modal untuk tetap menciptakan hubungan yang serasi, seimbang, dan sesuai dengan lingkungan, nilai, norma, dan budaya masyarakat setempat “.
- Pasal 1 angka 3 UUPT , tangung jawab sosial dan lingkungan adalah komitmen perseroan untuk berperan serta dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat, baik bagi perseroan sendiri, komunitas setempat maupun masyarakat pada umumnya.
Dari pengertian-pengertian CSR tampak
belum adanya keseragaman ataupun persamaan persepsi dan pandangan
mengenai CSR. Terlihat dari ketentuan dalam UUPM dan UUPT, melihat
tanggung jawab sosial pada titik pandang yang berbeda. UUPM lebih
menekankan CSR sebagai upaya perusahaan untuk menciptakan harmonisasi
dengan lingkungan di mana ia beroperasi. Sedangkan UUPT justru mencoba
memisahkan antara tanggung jawab sosial dengan tanggung jawab
lingkungan. UUPM bertolak dari konsep tanggung jawab perusahaan pada
aspek ekonomi, sosial dan lingkungan (triple bottom line).
Namun demikian keduanya mempunyai tujuan yang sama mengarah pada CSR
sebagai sebuah komitmen perusahaan terhadap pembangunan ekonomi
berkelanjutan dalam upaya meningkatkan kualitas kehidupan dan
lingkungan.
Jika ditarik pada berbagai pengertian di
atas maka CSR merupakan komitmen perusahaan terhadap kepentingan pada
stakeholders dalam arti luas dari sekedar kepentingan perusahaan belaka.
Dengan kata lain, meskipun secara moral adalah baik bahwa perusahaan
maupun penanam modal mengejar keuntungan, bukan berarti perusahaan
ataupun penanam modal dibenarkan mencapai keuntungan dengan
mengorbankan kepentingan-kepentngan pihak lain yang terkait.
Dengan adanya ketentuan CSR sebagai
sebuah kewajiban dapat merubah pandangan maupun perilaku dari pelaku
usaha, sehingga CSR tidak lagi dimaknai sekedar tuntutan moral an-sich,
tetapi diyakinkan sebagai kewajiban perusahaan yang harus dilaksanakan.
Kesadaran ini memberikan makna bahwa
perusahaan bukan lagi sebagai entitas yang mementingkan diri sendiri,
alienasi dan atau eksklusifitas dari lingkungan masyarakat, melainkan
sebuah entitas usaha yang wajib melakukan adaptasi kultural dengan
lingkungan sosial. Sehingga tidak berkelebihan jika ke depan CSR harus
dimaknai bukan lagi hanya sekedar responsibility karena bersifat
voluntary, tetapi harus dilakukan sebagai mandatory dalam makna
liability karena disertai dengan sanksi.[5]
Menyikapi kondisi yang ada tersebut, bahwa hukum sebagai produk kebijakan politik tidak selamanya merupakan conditio sine qua non
bagi tujuan yang hendak dicapai. Hal ini menunjukkan hukum mempunyai
batas-batas kemampuan tertentu untuk mengakomodasi nilai-nilai yang
tumbuh dan hidup dalam komunitas masyarakat, oleh karena itu Roscoe
Pound menyatakan bahwa tugas hukum yang utama dalah ”social engineering”.
Dalam doktrin ini dikatakan bahwa hukum harus dikembangkan sesuai
dengan perubahan-perubahan nilai sosial. Untuk itu sebaiknya diadakan
rumusan-rumusan kepentingan yang ada dalam masyarakat yaitu kepentingan
pribadi, masyarakat dan umum.
Dengan demikian hukum bagi Roscoe Pound merupakan alat untuk membangun masyarakat (law is a tool of social engineering).
Sehingga hokum bukan saja berdasarkan pada akal, tetapi juga
pengalaman. Akal diuji oleh pengalaman dan pengalaman yang dikembangkan
oleh akal.
Konteks tanggung jawab social (CSR)
dalam hal ini ada kewajiban bertanggung jawab atas perintah
undang-undang, dan memperbaiki atau sebaliknya memberi ganti rugi atas
kerusakan apa pun yang telah ditimbulkan. Tanggung jawab social berada
pada ranah moral, sehingga posisinya tidak sama dengan hokum. Moral
dalam tanggung ajwab social lebih mengarah pada tindakan lahiriah yang
didasarkan sepenuhnya dari sikap batiniha, sikap inilah yang dikenal
dengan “moralitas” yaitu sikap dan perbuatan baik yang betul-betul tanpa
pamrih. Sedangkan tanggung jawab hokum lebih menekankan pada ksesuaian
sikap lahiriah dengan aturan, meskipun tindakan tersbeut secara obyektif
tidak salah, barangkali baik dan sesuai dengan pandanan moral, hokum,
dan nilai-nilai budaya masyarakat. Namun demikian kesesuaian saja tidak
dapat dijadikan dasar untuk menarik suatu kesimpulan karena tidak tahu
motivasi atau maksud yang mendasarinya.
Bila dikaitkan dengan teori tanggung
jawab sosial dengan aktivitas perusahaan, maka dapat dikatakan bahwa
tanggung jawab sosial lebih menekankan pada kepedulian perusahaan
terhadap kepentingan stakeholders dalam arti luas dari pada kepedulian perusahaan terhadap kepentingan perusahaan belaka
Dengan demikian konsep tanggung jawab sosial lebih menekankan pada
tanggung jawab perusahaan atas tindakan dan kegiatan usahanya yang
berdampak pada orang-orang tertentu, masyarakat dan lingkungan di mana
perusahaan- perusahaan melakukan aktivitas usahanya sedemikian rupa,
sehingga tidak berdampak negatif pada pihak-pihak tertentu dalam
masyarakat. Sedangkan secara positif hal ini mengandung makna bahwa
perusahaan harus menjalankan kegiatannya sedemikian rupa, sehingga dapat
mewujudkan masyarakat yang lebih baik dan sejahtera.
Kondisi Indonesia masih menghendaki
adanya CSR sebagai suatu kewajiban hukum. Kesadarna akan adanya CSR
masih rendah, kondisinya yang terjadi adalah belum adanya kesadaran
moral yang cukup dan bahkan seringkali terjadi suatu yang diatur saja
masih ditabrak, apalagi kalau tidak diatur. Karena ketaatan orang
terhadap hukum masih sangat rendah. CSR lahir dari desakan masyarakat
atas perilaku perusahaan yang mengabaikan tanggung jawab sosial, seperti
: perusakan lingkungan, eksploitasi sumber daya alam, “ngemplang”
pajak, dan menindas buruh. Lalu, kebanyakan perusahaan juga cenderung
membuat jarak dengan masyarakat sekitar.
Jika situasi dan kondisi yang terjadi
masih seperti tersebut di atas, maka hukum harus berperan. Tanggung
jawab perusahaan yang semula adalah tanggung jawab non hukum (responsibility) akan berubah menjadi tanggung jawab hukum (liability). Otomatis perusahaan yang tidak memenuhi perundang-undangan dapat diberi sanksi.
2. CSR dan Implikasinya pada Iklim Penanaman Modal di Indonesia
Selanjutnya akan dibahas mengenai
bagaimana CSR dan implikasinya terhadap iklim penanaman modal di
Indonesia. Penanaman modal dalam UUPM No. 25 Tahun 2007, Pasal 1 angka
1 dinyatakan bahwa ”Penanaman modal adalah segala bentuk kegiatan
menanam modal, baik oleh penanam modal dalam negeri maupun penanam modal
asing untuk melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia”.
Kehadiran UUPM NO. 25 Tahun 2007 tentang
Penanaman Modal diharapkan, mampu memberikan angin segar kepada
investor dan memberikan iklim investasi yang menggairahkan. Kenyamanan
dan ketertarikan investor asing terutama apabila terciptanya sebuah
kepastian hukum dan jaminan adanya keselamatan dan kenyamanan terhadap
modal yang ditanamkan. Secara garis besar tujuan dari
dikeluarkannya UU PM tentunya disamping memberikan kepastian hukum juga
adanya transparansi dan tidak membeda-bedakan serta memberikan
perlakuan yang sama kepada investor dalam dan luar negeri.
Dengan adanya kepastian hukum dan
jaminan kenyamanan serta keamanan terhadap investor, tentunya akan
meningkatkan daya saing Indonesia di pasar global yang merosot sejak
terjadinya krisis moneter. Berkaitan dengan hal tersebut, penanaman
modal harus menjadi bagian dari penyelenggaraan perekonomian nasional
dan ditempatkan sebagai upaya untuk menigkatkan pertumbuhan ekonomi
nasional, menciptakan lapangan kerja, meningkatkan pembangunan ekonomi
berkelanjutan, meningkatkan kapasitas dan kemampuan teknologi nasional,
mendorong pembangunan ekonomi kerakyatan, serta mewujudkan kesejahteraan
masyarakat dalam suatu sistem perekonomian yang berdaya saing.
Tujuan penyelenggaraan penanaman modal
hanya dapat tercapai apabila faktor penunjang yang menghambat iklim
investasi dapat diatasi, antara lain melalui perbaikan koordinasi
antarinstansi Pemerintah Pusat dan Daerah, penciptaan birokrasi yang
efisien, kepastian hukum di bidang penanaman modal, biaya ekonomi yang
berdaya saing tinggi, serta iklim usaha yang kondusif di bidang
ketenagakerjaan dan keamanan berusaha. Dengan perbaikan faktor tersebut,
diharapkan realisasi penanaman modal akan membaik secara signifikan.
Suasana kebatinan yang diharapkan oleh
pembentuk UU PM, didasarkan pada semangat ingin menciptakan iklim
penanaman modal yang kondusif yang salah satu aturannya mengatur tentang
kewajiban untuk menjalankan CSR. Bagi pelaku usaha (pemodal baik dalam
maupun asing) memiliki kewajiban untuk menyelenggarakan CSR baik
dalam aspek lingkungan, sosial maupun budaya.
Penerapan kewajiban CSR sebabagaimana
diatur dalam UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal , Pasal 15
huruf b menyebutkan ”Setiap penanam modal berkewajiban melaksanakan
tanggung jawab sosial perusahaan”. Jika tidak dilakukan maka dapat
diberikan sanksi administrasi berupa peringatan tertulis, pembatasan
kegiatan usaha, pembekuan, hingga pencabutan kegiatan usaha dan/atau
fasilitas penanaman modal (Pasal 34 ayat (1) UU No. 25 Tahun 2007).
Sedangkan yang dimaksud “tanggung jawab sosial perusahaan” adalah
tanggung jawab yang melekat pada setiap perusahaan penanaman modal untuk
tetap menciptakan hubungan yang serasi, seimbang, dan sesuai dengan
lingkungan, nilai, norma, dan budaya masyarakat setempat.
Ilustrasi yang menggambarkan keinginan
dari berbagai anggota dewan pada waktu itu adalah kewajiban CSR terpaksa
dilakukan lantaran banyak perusahaan multinasional yang beroperasi di
Indonesia, lepas dari tanggung jawabnya dalam mengelola lingkungan.
”Pengalaman menunjukkan, bahwa banyak sekali perusahaan yang hanya
melakukan kegiatan operasional tetapi kurang sekali memberikan perhatian
terhadap kepentingan sosial”. Beberapa contoh kasus , seperti : lumpur
Lapindo di Porong, lalu konflik masyarakat Papua dengan PT. Freeport
Indonesia, konflik masyarakat Aceh dengan Exxon Mobile yang mengelola
gas bumi di Arun, pencemaran oleh Newmont di Teluk Buyat dan sebagainya.
Alasan lainnya adalah kewajiban CSR juga
sudah diterapkan pada perusahaan BUMN. Perusahaan-perusahaan pelat
merah telah lama menerapkan CSR dengan cara memberikan bantuan kepada
pihak ketiga dalam bentuk pembangunan fisik. Kewajiban itu diatur dalam
Keputusan Menteri BUMN maupun Menteri Keuangan sejak tahun 1997. ”oleh
karena itu, perusahaan yang ada di Indonesia sudah waktunya turut serta
memikirkan hal-hal yang berkaitan dengan lingkungan dimana perusahaan
itu berada”.
Tren globalisasi menunjukkan hal-hal
yang berkaitan dengan lingkungan sudah menjadi hal yang mendesak bagi
kepentingan umat manusia secara keseluruhan. Lingkungan hidup yang sehat
merupakan bagian dari hak azasi manusia. Di Inggris dan Belanda
misalnya, CSR menjadi sebuah penilaian hukum oleh otoritas pasar modal,
disamping penilaian dari publik sendiri. ”Kalau perusahaan itu tidak
pernah melakukan CSR justru kinerja saham di bursa saham kurang bagus”.
CSR dalam konteks penanaman modal harus
dimaknai sebagai instrumen untuk mengurangi praktek bisnis yang tidak
etis. Oleh karena itu harus dibantah pendapat yang menyatakan CSR
identik dengan kegiatan sukarela, dan menghambat iklim investasi. CSR
merupakan sarana untuk meminimalisir dampak negatif dari proses produksi
bisnis terhadap publik, khususnya dengan para stakeholdernya. Maka dari
itu, sangat tepat apabila CSR diberlakukan sebagai kewajiban yang
sifatnya mandatory dan harus dijalankan oleh pihak perseroan selama
masih beroperasi. Demikian pula pemerintah sebagai agen yang mewakili
kepentingan publik. Sudah sepatutnya mereka (pemerintah) memiliki
otoritas untuk melakukan penataan atau meregulasi CSR.
Dengan demikian, keberadaan perusahaan
akan menjadi sangat bermanfaat, sehingga dapat menjalankan misinya untuk
meraih optimalisasi profit, sekaligus dapat menjalankan misi sosialnya
untuk kepentingan masyarakat. Pengaturan mengenai tanggung jawab penanam
modal diperlukan untuk mendorong iklim persaingan usaha yang sehat,
memperbesar tanggung jawab lingkungan dan pemenuhan hak dan kewajiban
serta upaya mendorong ketaatan penanam modal terhadap peraturan
perundang-undangan.
Pelaksanaan CSR secara konsisten oleh
perusahaan akan mampu menciptakan iklim investasi (penanaman modal).
Anggapan yang mengatakan bahwa CSR akan menghambat iklim investasi patut
ditolak. Ada kewajiban bagi setiap penanam modal yang datang ke
Indonesia wajib mentaati aturan atau hukum yang berlaku di Indonesia,
apapun bentuknya. Indonesia masih menjanjikan bagi investor dalam maupun
asing. Sumber daya alam masih merupakan daya tarik tersendiri
dibandingkan negara-negara sesama ASEAN dalam posisi Sumber Daya Alam
(SDA) dan Sumber Daya Manusia (SDM). Kondisi tersebut dapat terwujud
apabila diimbangi dengan manfaat dari kesiapan peningkatan mutu
infrastrukturt, manusia, pengetahuan dan fisik.
UU PM memberikan jaminan kepada seluruh
investor, baik asing maupun lokal, berdasarkan asas kepastian hukum,
keterbukaan, akuntabilitas, perlakuan yang sama dan tidak membedakan
asal negara, kebersamaan, efisiensi, berkeadilan, berkelanjutan,
berwawasan lingkungan, kemandirian, dan keseimbangan kemajuan dan
kesatuan ekonomi nasional.
CSR dalam UUPM dapat
terlaksana jika dibarengi dengan lembaga yang kuat dalam menegakkan
aturan dan proses yang benar. Sebagaimana dikatakan oleh Mochtar
Kusumaatmadja, pengertian hukum yang memadai harus tidak hanya memandang
hukum itu sebagai suatu perangkat kaidah dan azas-azas yang mengatur
kehidupan manusia dalam masyarakat, tapi harus pula mencakup lembaga (institutions) dan proses (processes) yang diperlukan untuk mewujudkan hukum itu dalam kenyataan.
D. Penutup
1. Kesimpulan
Berdasarkan
latar belakang dan pembahasan di atas maka kesimpulan yang dapat
diambil dalam tulisan ini adalah sebagai berikut : pelaksanaan CSR yang
baik dan benar sesuai dengan aturan hukum yang berlaku akan berimplikasi
pada iklim penanaman modal yang kondusif. Untuk bisa mewujudkan CSR
setiap pelaku usaha (investor) baik dalam maupun asing yang melakukan
kegiatan di wilayah RI wajib melaksanakan aturan dan tunduk kepada hukum
yang berlaku di Indonesia, sebaliknya pemerintah sebagai regulator
wajib dan secara konsisten menerapkan aturan dan sanksi apabila ada
pelanggaran yang dilakukan oleh perusahaan yang tidak melaksanakan CSR
sesuai dengan ketentuan undang-undang yang berlaku.
2. Saran-saran
a. Pemerintah perlu terus melakukan
sosialisasi kepada para pelaku usaha untuk menyamakan persepsi mengenai
pentingnya CSR dalam mewujudkan iklim penanaman modal di Indonesia.
b. Dibutuhkan konsistensi dan komitmen
baik dari pemerintah maupun pelaku usaha (investor) dalam melakssanakan
CSR sebagai suatu kewajiban hukum.