Rabu, 07 Maret 2012

Opini perkereta apian di indonesia

Berbudaya dengan Kereta Api
“Mau tahu cara melihat tingkat kebudayaan suatu bangsa? Lihat saja transportasinya.”
Jawaban di atas tentu menimbulkan kontroversi karena unsur-unsur budaya itu begitu kompleks dan tidak akan bisa jika dilihat dari salah satu aspek saja. Akan tetapi, karena judul tulisan saya begitu, ya Anda hanya akan membaca tinjauan satu sisi saja. Selamat membaca, selamat berkomentar!
Bila dilihat secara umum, cara masyarakat bergerak, berpindah, atau bahasa kerennya bermobilisasi akan memperlihatkan budaya masyarakat tersebut. Kalau Anda menganggap ketertiban, menghormati orang lain, tidak egoistis termasuk bagian dari budaya—tentunya jika dilakukan secara berjemaah—pasti Anda setuju dengan pendapat saya.
Sebuah contoh di negara tetanga kita, Singapura, mungkin bisa menjadi refleksi bagi kita. Lihat bagaimana masyarakat di sana dengan sabar menanti lampu penyebrang berubah menjadi hijau sebelum mereka menyebrang, tentunya mereka juga hanya menyebrang di zebra cross. Pengemudi kendaraan pun dengan tertib berhenti di belakang garis setop sebelum zebra cross. Sebuah ironi memang jika kita membandingkannya dengan Indonesia. Akan tetapi, itulah kondisi budaya di jalan kita.
“Lalu, bagaimana dengan transportasi kereta api? Apakah kita sudah berbudaya di sana?”
 Karena ini bahasan utamanya, saya akan membagi kondisinya menjadi tiga: sebelum naik KA, saat di KA, setelah turun dari KA.
Sebelum naik KA, kita dihadapkan pada ketepatan waktu yang harus dipenuhi jika kita tidak ingin tertinggal (ya ini kan memang bukan Metromini yang bebas ngetem kapan pun di manapun). Kebiasaan merencanakan tujuan, mengatur jadawl, dan tepat waktu adalah budaya yang bisa terbentuk pada pengguna jasa KA. Seberapa sulit sih untuk melaksanakan ini? Kalau melihat pengalaman yang selama ini, kebanykan pengguna KA justru masih menjadi orang yang tergesa-gesa, tanpa rencana, dan yang penting terangkut tanpa mempertimbangkan aturan yang ada. Jadi, saat aturan tiket baru diterapkan PT KAI baru-baru ini, banyak penumpang yang mencaci-makinya. Menurut saya, yang salah adalah si penumpang sendiri yang tidak bisa menerapkan “budaya kereta api”.
Setelah naik dan perjalanan dimulai, ada 2 hal yang paling penting untuk diperhatikan di sini: toleransi dan kebersihan. Dalam perjalanan yang sangat panjang (Surabaya—jakarta mencapai 17 jam) tentu sangat tidak enak bila Anda yang bukan perokok dibombardir asap rokok yang tidak putus-putus, apalagi oleh orang yang duduk dekat Anda. Sudah seharusnyalah budaya toleransi ini tumbuh di kereta api. Bila dahulu ada yang beralasan dia tidak bisa jalan kemana-mana untuk merokok, sekarang alasan itu sudah tidak berlaku karena lorong jarak antara dua kursi di kereta sudah kosong dan Anda bisa berjalan untuk merokok di bordes dan meniupkan asapnya jauh-jauh ke luar kereta.
Tidak lupa pula para penumpang harus menjaga kebersihan di dalam kereta maupun di luar kereta selama perjalanan. Bagaimana perasaan Anda jika ada yang mebuang sampah di halaman rumah Anda? Bagaimana rasanya jika sampah itu dibuang tepat di depan muka Anda
Pertanyaan itulah yang seharusnya dipikirkan sebelum membuang sampah keluar kereta saat KA melaju. Bayangkanlah Anda menjadi si pemilik rumah tersebut. Membuang sampah di dalam kereta pun seharusnya mejadi tindakan haram bagi orang yang berbudaya, siapa sih yang mau buang sampah ke dalam rumahnya sendiri (perjalanan 17 jam telah cukup menjadikan KA sebagai rumah sementara)? Solusinya, simpanlah sampah Anda di plastik tertentu dan buanglah ke tempat sampah yang tersedia di stasiun-stasiun.
Setelah turun dari KA tentunya Anda harus merenungkan keprimitifan yang telah Anda lakukan selama perjalanan dan carilah cara untuk menghindari keprimitifan tersebut.
Mari wujudkan masyarakat “berbudaya kereta api”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar