Pemilihan Presiden dan Wapres (Pilpres) 2009 akan digelar tidak lama
lagi setelah pengumuman tiga pasangan capres-cawapres dalam beberapa
pekan terakhir. Berbagai strategi dan cara digelar untuk meraih
kemenangan. Yang menarik, setiap pasangan capres-cawapres merasakan
kebutuhan dukungan dari ‘penguasa non-formal’ yang ada di tengah-tengah
masyarakat. Mereka adalah para ulama, kiai, tuan guru, tengku dan
tokoh-tokoh masyarakat yang berpengaruh. Setiap menjelang Pemilu,
termasuk Pilpres kali ini, mereka sering kedatangan tamu tim sukses
pasangan capres-cawapres, atau bahkan langsung pasangan
capres-cawapresnya.
Di sisi
lain, ada sebagian orang dengan julukan kiai atau ulama bertandang ke
kediaman pasangan capres-cawapres. Ada pula yang bertemu di luar
‘kandang’ masing-masing dengan cara menggelar satu acara atau agenda
yang bertajuk ‘keumatan’. Pada pertemuan-pertemuan tidak resmi di
tengah-tengah jamaah para kiai/ulama tidak jarang “pesanan politik” juga
disampaikan. Targetnya tentu saja adalah menjajaki dukungan para tokoh
umat ini, dan tentu dengan kompensasi.
Akibat dukung-mendukung
capres-cawapres ini, tidak jarang hubungan silaturahmi menjadi renggang
hanya karena masing-masing berbeda visi dan dukungan politiknya.
Masing-masing pasangan saling mengklaim bahwa mereka pro-rakyat,
sementara pasangan lain pro-asing (dengan julukan neoliberal). Padahal
sebenarnya semua pasangan adalah pengusung liberalisme, hanya dengan
kadar yang berbeda-beda. Ini adalah fakta yang tentu sangat
memprihatinkan. Umat menjadi bingung dengan arah politik para ulama dan
kiai mereka. Pasalnya, masing-masing kiai/ulama memiliki tujuan politik
yang semuanya bisa dikemas dengan bungkus dalil agama. Sebagian
kiai/ulama itu seolah menjadi makelar dagangan yang bernama “tahta”.
Mereka mengabaikan fungsi, tugas dan tanggung jawab yang sesungguhnya
dalam kehidupan sosial-politik.
Lantas apakah yang perlu
direnungkan oleh ulama dan umatnya terkait dengan pemilihan pemimpin
saat ini? Bagaimana tanggung jawab ulama dalam kehidupan politik dan
bernegara? Sejauh mana peran dan fungsi ulama dalam proses perubahan
menuju Indonesia yang bersyariah, yang baldat[un] thayyibat[un] warabb[un] ghafûr?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar